Novel Twilight merupakan novel seri pertama dari novel karangan Stephenie Meyer. Stephen juga mengeluarkan seri lanjutan dari Novel Twilight ini yaitu seri Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn .
Dalam novel karya pertama dari Stephenie Meyer ini kalian akan menemukan adegan-adegan yang menguras emosi seperti adegan romantis, permusuhan, perang dan konspirasi. Ceritanya juga diangkat menjadi film layar lebar yang selalu ditunggu-tunggu setiap serinya oleh para penggemar.
Sekarang, kalian membaca Novel Twilight Bab 9 ini secara gratis dalam website Great Novel. Semoga bisa memberi para pembaca sekalian hiburan 😊
Baca Selengkapnya Novel Twilight – Pandangan Pertama Bab 9
Aku mundur sedikit. "Bagiku mereka sepertinya cukup ramah. Hanya saja kulihat mereka sepertinya menyendiri.
Mereka sangat menarik," tambahku.
"Kau harus bertemu dr. Cullen," kata Charlie tertawa. "Untunglah pernikahannya bahagia. Banyak perawat di rumah sakit sulit berkonsentrasi bila dia berada di sekitar mereka."
Kami kembali terdiam ketika selesai makan. Charlie membersihkan meja sementara aku mencuci piring. Ia kembali menonton TV, dan setelah selesai mencuci piring— di sini tidak ada mesin pencuci piring—dengan enggan aku naik untuk mengerjakan PR matematika-ku. Aku bisa merasakan sebuah tradisi ketika mengerjakannya. Malam itu suasana tenang. Aku tertidur dengan cepat, kelelahan.
Sisa minggu itu berlangsung membosankan. Aku terbiasa dengan rutinitas kelasku. Pada hari Jumat aku sudah bisa mengenali wajah, kalaupun bukan nama, hampir semua murid di sekolah. Di gimnasium anak-anak di timku sudah paham untuk tidak mengoper bola padaku dan tidak buruburu
melangkah di depanku kalau tim lain mencoba memanfaatkan kelemahanku. Dengan senang hati aku menyingkir dari mereka.
Edward Cullen tidak kembali ke sekolah.
Setiap hari, dengan waswas aku memerhatikan sampai seluruh keluarga Cullen memasuki kafetaria tanpanya.
Setelah itu baru aku bisa santai dan ikut nimbrung dalam pembicaraan makan siang. Sering kali obrolan kami adalah mengenai perjalanan menuju La Push Ocean Park dua minggu mendatang yang diprakarsai Mike. Aku diajak, dan telah setuju untuk ikut. Bukan karena ingin, tapi lebih karena tidak enak menolaknya. Pantai seharusnya panas dan kering.
Hari Jumat dengan nyaman aku memasuki kelas Biologiku, tak lagi mengkhawatirkan Edward. Yang kutahu, ia telah meninggalkan sekolah. Aku berusaha tidak memikirkannya, tapi aku tak bisa benar-benar menekan kekhawatiran bahwa akulah yang bertanggung jawab atas absennya Edward. Memang konyol sih.
Akhir pekan pertamaku di Forks berlalu tanpa insiden. Charlie, yang tidak terbiasa menghabiskan waktu di rumah yang biasanya kosong memilih bekerja sepanjang akhir pekan. Aku membersihkan rumah, mengerjakan PR, dan menulis e-mail yang lebih ceria untuk ibuku.
Hari Sabtu aku pergi ke perpustakaan, tapi berhubung koleksinya sangat sedikit, aku tidak jadi membuat kartu anggota; aku harus membuat jadwal untuk segera mengunjungi Olympia atau Seattle dan menemukan toko buku yang bagus di sana. Iseng aku membayangkan seberapa jauh jarak tempuh truk ini... dan bergidik memikirkannya.
Sepanjang akhir pekan hujan gerimis, tenang sehingga aku bisa tidur nyenyak.
Hari Senin orang-orang menyapaku di parkiran. Aku tidak tahu nama mereka masing-masing tapi aku balas melambai dan tersenyum pada semuanya. Pagi ini cuaca lebih dingin, tapi untungnya tidak hujan. Di kelas bahasa Inggris, seperti biasa Mike duduk di sebelahku. Ada ulangan mendadak mengenai Wuthering Heights. Sejujurnya, ulangan itu sangat mudah.
Secara keseluruhan aku merasa jauh lebih nyaman daripada yang kusangka bakal kurasakan pada titik ini.
Lebih nyaman dari yang pernah kuperkirakan. Ketika kami berjalan keluar kelas, udara dipenuhi butiran putih yang berputar-putar. Aku bisa mendengar orang-orang berteriak kesenangan. Angin menerpa pipi dan hidungku.
"Wow," kata Mike. "Salju."
Aku memandang butiran kapas kecil yang mulai menggunung di sepanjang jalan setapak dan berputar-putar di wajahku.
"Uuuh." Salju. Hilang sudah hari baikku.
Mike tampak terkejut. "Tidakkah kau suka salju?"
"Tidak. Itu berarti terlalu dingin untuk hujan." Jelas. "Selain itu, kupikir seharusnya salju turun dalam kepingan—tahu kan, masing-masing bentuknya unik dan sebagainya. Ini sih hanya kelihatan seperti ujung cotton bud" "Kau pernah melihat salju tidak sih?" tanyanya heran.
"Tentu saja pernah." Aku terdiam. "Di TV.” Mike tertawa. Lalu bola salju besar dan lembut menghantam bagian belakang kepalanya. Kami berbalik untuk melihat dari mana asalnya. Aku curiga itu perbuatan Eric, yang berjalan menjauh memunggungi kami—dan bukannya menuju kelasnya. Sepertinya Mike memiliki dugaan yang sama. Ia membungkuk dan mulai membentuk bola putih.
"Kita ketemu lagi saat makan siang oke?" aku berkata sambil terus berjalan. "Begitu orang-orang mulai melemparkan bola-bola basah itu, aku langsung masuk." Mike hanya mengangguk, matanya tertuju pada sosok Eric yang semakin menjauh.
Sepagian itu semua orang membicarakan salju dengan perasaan senang; rupanya ini salju pertama di tahun baru. Aku tidak mengatakan apa-apa. Tentu saja lebih kering daripada hujan—sampai saljunya mencair di kaus kakimu. Aku berjalan waspada menuju kafetaria bersama Jessica seusai kelas bahasa Spanyol. Bola-bola salju melesat di mana-mana. Aku memegang binder di tanganku, siap menggunakannya sebagai pelindung bila diperlukan. Jessica menganggapku konyol, tapi sesuatu pada ekspresiku menahannya untuk tidak melemparkan bola salju ke arahku.
Mike menghampiri ketika kami sampai ke pintu. Ia tertawa, gumpalan es meleleh di rambutnya. Ia dan Jessica bicara penuh semangat tentang perang salju ketika kami antre membeli makanan. Di luar kebiasaan aku memandang sekilas ke meja di pojok. Lalu aku berdiri mematung. Ada lima orang di meja itu. Jessica menarik lenganku.
"Halo? Bella? Kau mau apa?"
Aku menunduk; telingaku panas. Aku tak punya alasan untuk merasa malu, aku mengingatkan diriku sendiri. Aku tidak melakukan sesuatu yang salah. "Bella kenapa sih?" Mike bertanya pada Jessica. "Tidak apa-apa," jawabku. "Hari ini aku minum soda saja.” Aku berjalan pelan ke ujung antrean.
"Kau tidak lapar?" tanya Jessica.
"Sebenarnya, aku merasa sedikit tidak enak badan,” kataku, mataku masih tertuju ke lantai. Aku menunggu Mike dan Jessica mengambil makanan mereka, lalu mengikuti mereka ke meja, mataku menatap ke bawah.
Novel Twilight – Pandangan Pertama Bab 9 Telah Selesai
Bagaimana Novel Twilight - Pandangan Pertama Bab 9 nya? Seru bukan? Jangan lupa untuk membaca kelanjutan kisahnya di bab-bab selanjutnya ya Novel Lovers.
Silahkan klik navigasi Babnya di bawah ini untuk pindah ke Bab berikutnya.
Dapatkan update Novel Terbaru pilihan dari kita dan sudah aku susun daftar lengkap novelnya ya free buat kalian yang suka baca. Mari bergabung di Grup Telegram "Novel Update", caranya klik link https://t.me/novelkupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Baca Juga Novel Lainnya Dibawah yang Pastinya Seru Juga :
- Novel Lelaki Yang Tak Terlihat Kaya
- Novel Romantis Pengantin Pengganti
- Novel Elena : Si Gadis Tangguh
- Novel Charlie Wade Si Kharismatik
- Novel Romantis My Lovely Boss
- Novel Perintah Kaisar Naga
- Novel My Imperfect CEO
- NOVEL KISAH ISTRI BAYARAN
- Novel Perceraian Ke-99
0 komentar: