Novel Twilight merupakan novel seri pertama dari novel karangan Stephenie Meyer. Stephen juga mengeluarkan seri lanjutan dari Novel Twilight ini yaitu seri Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn .
Dalam novel karya pertama dari Stephenie Meyer ini kalian akan menemukan adegan-adegan yang menguras emosi seperti adegan romantis, permusuhan, perang dan konspirasi. Ceritanya juga diangkat menjadi film layar lebar yang selalu ditunggu-tunggu setiap serinya oleh para penggemar.
Sekarang, kalian membaca Novel Twilight Bab 67 ini secara gratis dalam website Great Novel. Semoga bisa memberi para pembaca sekalian hiburan 😊
Baca Selengkapnya Novel Twilight – New Moon Bab 67
KEDUA mataku membelalak ngeri, padahal aku sangat kelelahan dan bingung sampai-sampai tak yakin apakah aku sudah bangun atau masih tidur. Sesuatu menggaruk-garuk kaca jendelaku lagi dengan suara melengking tinggi yang sama. Bingung dan kikuk karena mengantuk, aku tersaruk-saruk turun dari tempat tidur dan melangkah ke jendela, mengerjap-ngerjapkan air mata yang masih menggenang di mataku.
Sosok hitam besar bergelantungan goyah di sisi luar kaca jendela, menerjang ke arahku seperti hendak menabrak kaca. Aku terhuyung-huyung mundur, ngeri, kerongkonganku tercekat hendak menjerit.
Victoria.
Ia datang mencariku. Mati aku.
Jangan Charlie juga!
Kutelan lagi jeritan yang sudah menggumpal di tenggorokanku Aku tak boleh bersuara. Entah bagaimana caranya. Pokoknya jangan sampai Charlie datang memeriksa... Kemudian suara parau yang sudah sangat kukenal keluar dari sosok gelap itu.
“Bella!” sosok itu mendesis.
"Aduh! Brengsek, buka jendelanya! ADUH!”
Butuh dua detik untuk mengenyahkan rasa takut sebelum aku bisa bergerak, tapi kemudian aku bergegas ke jendela dan mendorong kacanya. Awan-awan diterangi cahaya remang di baliknya cukup untuk membuatku bisa mengenal, sosok itu.
"Sedang apa kau?" aku terkesiap.
Jacob bergelayut goyah di pucuk tanaman yang tumbuh di tengah-tengah halaman kecil Charlie. Bobot tubuhnya membuat pohon itu merunduk ke arah rumah dan sekarang ia berayun—kalanya bergelantungan enam meter di atas tanah—tak sampai semeter dariku. Ranting-ranting kurus di pucuk pohon menggaruk-garuk dinding rumah lagi dengan suaranya yang berderit-derit.
“Aku mencoba menepati"—Jacob terengahengah, memindahkan berat badannya saat puncak pohon memantulkannya— janjiku!" Aku mengerjapkan pandanganku yang kabur, mendadak yakin aku tengah bermimpi. “Kapan kau pernah berjanji untuk bunuh diri dengan jatuh dari pohon Charlie?” Jacob mendengus, menganggap gurauanku tidak lucu, mengayunkan kaki agar bisa lebih seimbang.
"Minggir," perintahnya.
"Apa?"
Jacob mengayunkan kalanya lagi, ke belakang dan ke depan, meningkatkan momentum. Sadarlah aku apa yang hendak dilakukannya.
"Jangan. Jake!"
Tapi aku merunduk juga ke samping, karena sudah terlambat. Sambil menggeram Jacob menerjang ke jendela kamarku yang terbuka. Jeritan lain siap terlontar dari kerongkonganku saat menunggu Jacob terjatuh dan mati—atau paling tidak cedera membentur papan kayu. Tapi aku benar-benar shock waktu ia dengan tangkas mengayun masuk ke dalam kamar, mendarat dengan tumit mencium lantai dan suara berdebum pelan.
Tatapan kami otomatis mengarah ke pintu, menahan napas, menunggu apakah suara tadi membangunkan Charlie. Kesunyian berlalu beberapa detik, kemudian kami mendengar suara dengkur tertahan Charlie.
Cengiran lebar lambat-lambat merekah di wajah Jacob; tampaknya ia sangat puas pada diri sendiri. Itu bukan cengiran seperti yang selama ini kukenal dan kusukai—tapi cengiran baru, yang seolah mengejek keluguannya dulu, di wajah baru yang kini menjadi milik Sam.
Itu agak keterlaluan bagiku.
Aku menangisi cowok ini sampai ketiduran. Penolakan kasarnya tadi meninggalkan lubang baru yang menyakitkan di dadaku. Ia meninggalkan mimpi buruk yang baru, seperti infeksi pada luka—penghinaan setelah perlakuan buruk. Dan sekarang ia datang ke kamarku, tersenyum mengejek seolah-olah semua itu tak pernah terjadi.
Dan lebih parahnya lagi, walaupun kedatangannya berisik dan canggung, ulahnya mengingatkanku pada Edward ketika dulu ia sering menyusup masuk lewat jendela malammalam, dan kenangan itu semakin memedihkan luka hatiku yang belum sembuh. Semua ini, ditambah fakta bahwa aku sangat kelelahan, membuat suasana hatiku jadi buruk.
"Keluar!" desisku,
sebisa mungkin membuat bisikanku terdengar ketus.
Jacob mengerjapkan mata, wajahnya berubah kosong karena terkejut.
"Tidak," protesnya.
"Aku datang untuk meminta maaf."
"Aku tidak terima!”
Aku berusaha mendorongnya kembali ke luar jendela—bagaimanapun juga, kalau ini mimpi, ia tidak akan cedera apa-apa. Tapi ternyata tak ada gunanya. Aku tak sanggup menggerakkan tubuhnya sedikit pun.
Cepat-cepat kujatuhkan tanganku, lalu mundur menjauhinya. Ia tidak mengenakan pakaian, walaupun angin yang bertiup masuk dari jendela cukup dingin untuk membuatku gemetar, dan aku merasa tak nyaman memegang dadanya yang telanjang. Kulitnya panas membara, seperti kepalanya waktu aku terakhir kali menyentuhnya dulu. Seolah-olah ia masih demam tinggi.
Ia tidak kelihatan sakit. Ia terlihat besar. Jacob mencondongkan tubuh ke arahku, besar sekali hingga menutupi jendela, bingung melihat reaksiku yang sengit.
Sekonyong-konyong aku tak sanggup menanggungnya lagi—rasanya seolah-olah semua akibat dari kurang tidur yang kualami sekian lama menerjangku sekaligus. Aku capek sekali hingga rasanya ingin ambruk ke lantai saat itu juga. Tubuhku limbung, dan aku berjuang keras menjaga mataku tetap terbuka.
"Bella?" bisik Jacob waswas. Diraihnya sikuku waktu aku limbung lagi, lalu digiringnya aku ke tempat tidur. Kakiku lunglai begitu aku sampai di pinggir tempat tidur, dan kujatuhkan kepalaku yang lemas ke kasur.
"Hei, kau baik-baik saja?" tanya Jacob, perasaan waswas membuat keningnya berkerut.
Aku menengadah memandanginya, air mata di pipiku belum sepenuhnya kering. "Bagaimana aku bisa baik-baik saja, Jacob?"
Kesedihan menggantikan sebagian kepahitan di wajahnya.
"Benar," Jacob sependapat, lalu menghela napas dalam-dalam. "Brengsek. Well, aku—aku minta maaf, Bella" Permintaan maaf itu tulus, tak diragukan lagi, meski masih ada kerutkerut marah di wajahnya.
"Mengapa kau datang ke sini? Aku tidak menginginkan permintaan maaf darimu, Jake."
"Aku tahu," bisiknya.
"Tapi aku tak bias membiarkan kita berpisah seperti sore tadi. Benarbenar tidak menyenangkan. Maafkan aku."
Aku menggeleng letih. "Aku tidak mengerti sama sekali."
“Aku tahu. Aku ingin menjelaskan—" Mendadak Jacob berhenti bicara, mulutnya ternganga, hampir seolah-olah ada sesuatu yang memutus aliran udaranya.
Lalu ia menghirup napas dalam-dalam. "Tapi aku tak bisa menjelaskan," katanya, masih marah.
"Kalau saja aku bisa." Kubiarkan kepalaku jatuh ke tangan.
Pertanyaanku terbenam oleh lenganku.
"Kenapa?" Jacob terdiam sesaat. Kuputar wajahku ke satu sisi—terlalu letih untuk menegakkannya—untuk melihat ekspresinya. Wajahnya membuatku terkejut. Matanya menyipit, giginya terkatup rapat, dahinya berkerut-kerut seolah sedang mengerah kan segenap kekuatan.
Novel Twilight – New Moon Bab 67 Telah Selesai
Bagaimana Novel Twilight - New Moon Bab 67 nya? Seru bukan? Jangan lupa untuk membaca kelanjutan kisahnya di bab-bab selanjutnya ya Novel Lovers.
Silahkan klik navigasi Babnya di bawah ini untuk pindah ke Bab berikutnya.
Dapatkan update Novel Terbaru pilihan dari kita dan sudah aku susun daftar lengkap novelnya ya free buat kalian yang suka baca. Mari bergabung di Grup Telegram "Novel Update", caranya klik link https://t.me/novelkupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Baca Juga Novel Lainnya Dibawah yang Pastinya Seru Juga :
- Novel Lelaki Yang Tak Terlihat Kaya
- Novel Romantis Pengantin Pengganti
- Novel Elena : Si Gadis Tangguh
- Novel Charlie Wade Si Kharismatik
- Novel Romantis My Lovely Boss
- Novel Perintah Kaisar Naga
- Novel My Imperfect CEO
- NOVEL KISAH ISTRI BAYARAN
- Novel Perceraian Ke-99

0 komentar: