Jumat, 28 Oktober 2022

Novel Twilight : NEW MOON Bab 5

Novel Twilight merupakan novel seri pertama dari novel karangan Stephenie Meyer. Stephen juga mengeluarkan seri lanjutan dari Novel Twilight ini yaitu seri Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn .

Dalam novel karya pertama dari Stephenie Meyer ini kalian akan menemukan adegan-adegan yang menguras emosi seperti adegan romantis, permusuhan, perang dan konspirasi. Ceritanya juga diangkat menjadi film layar lebar yang selalu ditunggu-tunggu setiap serinya oleh para penggemar.

Sekarang, kalian  membaca Novel Twilight Bab 5 ini secara gratis dalam website Great Novel. Semoga bisa memberi para pembaca sekalian hiburan 😊



Baca Selengkapnya Novel Twilight – New Moon Bab 5

Jantungku berdebar sangat keras di bawah telapak tangan.

"Menurutmu, apakah aku bisa jadi semakin baik dalam hal ini?" tanyaku,

menujukannya pada diriku sendiri. "Bahwa jantungku suatu saat nanti akan berhenti mencoba melompat keluar dari dadaku setiap kali kau menyentuhku?"

"Aku benar-benar berharap itu tidak akan terjadi," jawab Edward, sedikit puas pada diri sendiri. Kuputar bola mataku.

"Ayo kita nonton keluarga Capulet dan Montague saling menghabisi, bagaimana?"

"Your wish, my command"

Edward duduk berselonjor di sofa sementara aku menyetel film, mempercepat bagian pembukaan.

Waktu aku duduk di pinggir sofa di depannya, Edward merangkul pinggangku dan menarikku ke dadanya. Memang tidak senyaman bersandar di punggung sofa, karena dada Edward keras dan dingin—dan sempurna—seperti pahatan es, tapi aku jelas lebih menyukainya.

Edward menarik selimut tua yang tersampir di punggung sofa dan menghamparkannya menutupi tubuhku, supaya aku tidak membeku karena bersentuhan dengan tubuhnya.

"Kau tahu, sebenarnya aku kurang suka pada Romeo," Edward berkomentar saat filmnya mulai. "Memangnya Romeo kenapa?" tanyaku, agak tersinggung. Romeo salah satu karakter fiksi

favoritku. Sampai aku bertemu Edward, aku sempat agak-agak naksir padanya. "Well, pertama-tama, dia mencintai Rosaline ini—apa menurutmu itu bukan plin-plan namanya? Kemudian, beberapa menit setelah pernikahan mereka, dia membunuh sepupu Juliet. Itu sangat tidak cerdas. Kesalahan demi kesalahan.


Masa menghancurkan kebahagiaannya sendiri?" Aku mendesah. "Kau mau aku menontonnya

sendirian?"

“Tidak, toh aku akan lebih banyak menontonmu." Jari-jarinya menyusur membentuk pola di kulit lenganku, membuat bulu kudukku meremang.

"Kau bakal menangis, tidak?"

"Kemungkinan besar," aku mengakui,

"kalau aku memerhatikan."

"Aku tidak akan mengganggumu kalau begitu." Tapi aku merasakan bibirnya di rambutku, dan itu sangat mengganggu.

Akhirnya film itu berhasil menyita perhatianku, sebagian besar berkat “jasa" Edward membisikkan dialog-dialog Romeo di telingaku—suaranya yang merdu bak beledu membuat suara si aktor terdengar lemah dan kasar. Dan aku benar-benar menangis, membuat Edward geli, saat Juliet terbangun dan menemukan suami barunya sudah meninggal.

"Harus kuakui, aku agak iri padanya dalam hal ini," kata Edward, mengeringkan air mataku dengan seberkas rambutku.

"Dia cantik sekali."

Edward mengeluarkan suara seperti jijik. "Aku bukan iri karena ceweknya—tapi karena mudahnya dia bunuh diri," Edward mengklarifikasi dengan nada menyindir. "Kalian manusia gampang sekali mati! Tinggal menelan setabung kecil ekstrak tumbuhan..."

"Apa?" aku kaget.

"Itu pernah terpikir olehku, dan aku tahu dari pengalaman Carlisle, prosesnya tidak sesederhana itu. Aku bahkan tidak tahu berapa kali dia mencoba bunuh diri awalnya... begitu sadar dia sudah berubah menjadi..." Suara Edward, yang sempat berubah serius, kini ceria lagi.

"Dan sampai sekarang ternyata dia masih sehat walafiat." Aku berbalik supaya bisa membaca ekspresi wajahnya.

"Ngomong apa sih kau?" tuntutku.

"Apa maksudmu, itu pernah terpikir olehmu?"


"Musim semi lalu, waktu kau... nyaris terbunuh..." Edward terdiam sejenak untuk menarik napas dalam-dalam, berusaha keras kembali memperdengarkan nada menggoda.

"Tentu saja aku berusaha fokus untuk menemukanmu hidup-hidup, tapi sebagian otakku menyusun rencana cadangan. Seperti kataku tadi, tak semudah yang bisa dilakukan manusia".

Sedetik, kenangan akan perjalanan terakhirku ke Phoenix membanjiri otakku dan membuatku merasa pusing. Aku bisa melihat semuanya dengan sangat jelas—terik matahari yang menyilaukan, gelombang panas yang menguap dari beton saat aku berlari sekuat tenaga, tergesa-gesa, dan putus asa, untuk menemukan vampir sadis yang ingin menyiksaku sampai mati. James, menunggu di ruang cermin bersama ibuku sebagai sandera— atau aku menyangka begitu. Aku tidak tahu itu hanya tipuan. Sama halnya James juga tidak tahu saat itu Edward sedang lari untuk menyelamatkan aku; Edward tiba tepat waktu, meski nyaris terlambat.

Tanpa berpikir, jari-jariku meraba bekas luka berbentuk bulan sabit di tanganku yang suhunya selalu beberapa derajat lebih rendah daripada bagian kulitku yang lain. Aku menggeleng—seolah ingin menepis kenangan buruk itu jauh-jauh—dan berusaha mencerna maksud Edward. Perutku melilit.

"Rencana cadangan?" ulangku.

"Well, aku tidak mau hidup tanpa kau," Edward memutar bola matanya, seolah-olah jawaban itu sudah sangat jelas, tak perlu ditanyakan lagi.

"Tapi aku tak tahu bagaimana melakukannya—aku tahu Emmett dan Jasper tidak akan mau membantu... jadi kupikir mungkin aku akan pergi ke Italia dan melakukan sesuatu untuk memprovokasi Volturi." Aku tidak ingin percaya bahwa Edward serius, tapi matanya terlihat muram, terfokus pada sesuatu di kejauhan saat ia mempertimbangkan berbagai cara untuk menghabisi nyawanya sendiri.


Seketika aku marah.

"Apa itu Volturi?" tuntutku.

"Volturi itu nama sebuah keluarga," Edward menjelaskan, matanya masih tampak muram. "Keluarga sejenis kami, sangat tua dan berkuasa.

Di dunia kami, mereka bisa dianggap keluarga bangsawan, kurasa. Carlisle pernah tinggal sebentar dengan mereka dulu, di Italia, sebelum kemudian menetap di Amerika—kau ingat ceritanya?" "Tentu saja aku ingat."

Aku tidak akan pernah lupa saat pertama kali aku ke rumah Edward, mansion putih besar jauh di pelosok hutan, di tepi sungai, atau kamar tempat Carlisle—yang bisa dianggap ayah Edward—menyimpan koleksi lukisan yang menggambarkan sejarah pribadinya.

Lukisan yang paling meriah, paling berwarna-warni, sekaligus yang paling besar yang ada di sana, menggambarkan kehidupan Carlisle di Italia. Tentu saja aku ingat potret diri kwartet lelaki kalem, masing-masing berwajah memesona seperti malaikat serafin, berdiri di balkon paling tinggi, di tengah pusaran berbagai warna yang bercampur aduk.

Walaupun lukisan itu sudah berabad-abad usianya, Carlisle—si malaikat pirang—tetap tak berubah. Dan aku ingat ketiga malaikat lain, kenalan Carlisle dari masa awal hidupnya. Edward tak pernah menyebut nama Volturi untuk trio rupawan itu, dua berambut hitam, satu berambut seputih salju.

Novel Twilight – New Moon Bab 5 Telah Selesai

Bagaimana Novel Twilight - New Moon Bab 5 nya? Seru bukan? Jangan lupa untuk membaca kelanjutan kisahnya di bab-bab selanjutnya ya Novel Lovers.

Silahkan klik navigasi Babnya di bawah ini untuk pindah ke Bab berikutnya.

Dapatkan update Novel Terbaru pilihan dari kita dan sudah aku susun daftar lengkap novelnya ya free buat kalian yang suka baca. Mari bergabung di Grup Telegram "Novel Update", caranya klik link https://t.me/novelkupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca Juga Novel Lainnya Dibawah yang Pastinya Seru Juga :

Bab Selanjutnya
Bab Sebelumnya

0 komentar: