Senin, 24 Oktober 2022

Baca Selengkapnya Novel Twilight Pandangan Pertama Bab 125

Novel Twilight merupakan novel seri pertama dari novel karangan Stephenie Meyer. Stephen juga mengeluarkan seri lanjutan dari Novel Twilight ini yaitu seri Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn .

Dalam novel karya pertama dari Stephenie Meyer ini kalian akan menemukan adegan-adegan yang menguras emosi seperti adegan romantis, permusuhan, perang dan konspirasi. Ceritanya juga diangkat menjadi film layar lebar yang selalu ditunggu-tunggu setiap serinya oleh para penggemar.

Sekarang, kalian  membaca Novel Twilight Bab 125 ini secara gratis dalam website Great Novel. Semoga bisa memberi para pembaca sekalian hiburan 😊



Baca Selengkapnya Novel Twilight – Pandangan Pertama Bab 125

“Tidak juga,” katanya singkat.

“Jangan marah pada Billy,” desahku.

“Dia hanya mengkhawatirkan diriku demi kebaikan Charlie. Bukan apa-apa.”

“Aku tidak marah pada Billy,” ia meralat tajam.

“Tapi anak laki-lakinya membuatku jengkel.” Aku menarik tubuhku agar bisa memandangnya.

Wajahnya sangat serius.

“Kenapa?”

“Pertama-tama dia membuatku mengingkari janjiku sendiri.”

Aku menatapnya tidak mengerti.

Ia setengah tersenyum.

“Aku sudah berjanji takkan melepaskanmu malam ini,” ia menjelaskan.

“Oh. Well, aku memaafkanmu.”

“Terima kasih. Tapi ada hal lain.” Wajah Edward cemberut.

Aku menunggu dengan sabar.

“Dia menyebutmu cantik,” akhirnya ia meneruskan katakatanya,

kerutan di wajahnya semakin nyata.

“Mengingat penampilanmu saat ini, itu bisa dibilang menghina. Kau lebih dari sekadar cantik.”

Aku tertawa. “Kau mungkin sedikit bias.”

“Kurasa tidak. Lagi pula, aku punya daya lihat yang sempurna.”

Kami kembali berdansa, kakiku di atas kakinya saat ia menarikku lebih dekat.

“Jadi, apakah kau akan menjelaskan alasan untuk semua ini?” aku bertanya-tanya.


Ia menunduk menatapku, bingung, dan aku memandang pita kertas krep dengan penuh arti. Ia berpikir sebentar kemudian mengubah arah, memutarmutar

tubuhku melewati keramaian menuju pintu belakang gym. Sekilas aku sempat melihat Jessica dan Mike yang setang berdansa sambil memandangiku penasaran. Jessica melambai, dan aku balas tersenyum padanya.

Angela juga ada di sana, tampak luar biasa bahagia dalam pelukan si kecil Ben Cheney; Angela tak pernah melepaskan pandangannya dari Ben, yang sedikit lebih pendek daripadanya. Lee, Samantha, Lauren, dan Conner menatap kami geram; aku bisa menyebutkan semua orang yang menari melewatiku. Kemudian kami sampai di luar, di bawah cahaya temaram matahari terbenam serta udara sejuk.

Begitu kami sendirian, ia menggendong dan membawaku melintasi halaman yang gelap ke bangku di bawah bayangan pepohonan madrone.

Ia duduk di sana, sambil terus memelukku erat di dadanya. Bulan telah muncul di langir, rampak jelas di antara awan-awan tipis, dan wajahnya bertambah pucat dalam cahaya putih.

Mulutnya tegang, matanya resah.

“Intinya?” aku memulai dengan lembut.

Ia mengabaikanku, menatap bulan.

“Twilight, lagi,” gumamnya.

“Akhir yang lain. Tak peduli berapa sempurna sebuah hari, toh harus berakhir juga.”

“Beberapa hal tak perlu berakhir,” gumamku setengah mendesis, langsung tegang.

Ia mendesah.

“Aku membawamu ke prom,” katanya pelan, akhirnya menjawab pertanyaanku,

“karena aku tak ingin kau kehilangan momen apa pun. Aku tak ingin kehadiranku menjauhkanmu dan segala peluang kalau aku bisa membuatnya terjadi. Aku ingin kau menjadi manusia. Aku ingin hidupmu berjalan seperti seharusnya seandainya aku mati pada tahun 1918.”

Aku bergidik mendengar kata-katanya, lalu menggeleng marah.

“Dalam dimensi paralel aneh manakah aku bakal pernah mau pergi ke prom atas keinginanku sendiri? Seandainya kau tidak seribu kali lebih kuat dariku, aku takkan pernah membiarkanmu membawaku kemari.” Ia tersenyum sekilas, tapi senyum itu tidak menyentuh matanya.

“Kau sendiri yang bilang ini tidak terlalu buruk.”

“Itu karena aku bersamamu.”


Beberapa saat kami terdiam. Ia menatap bulan dan aku menatapnya. Kuharap ada cara untuk menjelaskan betapa aku sama sekali tidak tertarik pada kehidupan manusia yang normal.

“Maukah kau memberirahuku sesuatu?” tanyanya, menunduk, menatapku seraya tersenyum simpul.

“Bukankah aku selalu melakukannya?”

“Berjanjilah kau akan memberitahuku,” desaknya, tersenyum.

Aku tahu aku bakal langsung menyesalinya.

“Baiklah.”

“Kau sepertinya benar-benar terkejut saat mengetahui aku akan membawamu ke sini,” ia memulai.

“Memang” selaku.

“Tepat,” ia menyetujui.

“Tapi kau pasti sudah punya teori lain... aku penasaran—kaupikir kenapa aku mendandanimu seperti ini?”

Benar, aku langsung menyesal. Kucibirkan bibirku, raguragu.

“Aku tidak ingin memberitahumu.”

“Kau sudah berjanji,” tukasnya keberatan.

“Aku tahu.”

“Apa masalahnya?”

Aku tahu ia mengira perasaan malulah yang menahanku.

“Kurasa itu akan membuatmu marah—atau sedih.”

Alisnya bertaut di atas matanya saat ia memikirkannya.

“Aku masih ingin tahu. Kumohon.” Aku mendesah. Ia menunggu.

Well. Aku menduga itu semacam... acara istimewa. Tapi aku tidak berpikir ini kegiatan manusia biasa... prom!” ejekku.

“Manusia?” tanyanya datar. Ia memilih kata kuncinya. Aku memandangi gaunku, memainkan chiffon-nya. Ia menunggu dalam diam.

“Oke,” aku buru-buru mengaku.

“Aku berharap kau mungkin berubah pikiran... bahwa kau akan mengubahku, akhirnya.”


Berbagai emosi muncul bergantian di wajahnya. Aku mengenali beberapa di antaranya: amarah... sedih... kemudian ia tampak senang.

“Kaupikir itu sejenis acara resmi, ya?” godanya sambil menyentuh kerah tuksedonya.

Aku cemberut untuk menyembunyikan rasa maluku.

“Aku kan tidak tahu. Setidaknya bagiku ini lebih masuk akal daripada prom.” Ia masih nyengir.

“Tidak lucu, tahu,” kataku.

“Tidak, kau benar, ini tidak lucu,” ia menimpali, senyumnya memudar. “Meskipun begitu aku lebih suka menganggapnya lelucon, daripada percaya bahwa kau serius.”

“Tapi aku memang serius.”

Ia menghela napas dalam. “Aku tahu. Dan kau benarbenar menginginkannya?”

Kepedihan itu kembali tampak di matanya. Kugigit

bibirku dan mengangguk

“Kau siap mengakhiri semua ini,” gumamnya, nyaris kepada dirinya sendiri,

“siap menjadikan ini akhir hidupmu, meskipun hidupmu bahkan belum dimulai. Kau siap merelakan semuanya.”

“Ini bukan akhir, ini baru permulaan,” sergahku, suaraku berbisik.

“Aku tidak pantas mendapatkannya,” katanya sedih. “Kau ingat waktu kaubilang aku tidak melihat diriku sendiri dengan sangat jelas?” tanyaku, satu alisku terangkat.

“Kau sama butanya denganku.”

“Aku tahu siapa diriku.” Aku mendesah.

Novel Twilight – Pandangan Pertama Bab 125 Telah Selesai

Bagaimana Novel Twilight - Pandangan Pertama Bab 125 nya? Seru bukan? Jangan lupa untuk membaca kelanjutan kisahnya di bab-bab selanjutnya ya Novel Lovers.

Silahkan klik navigasi Babnya di bawah ini untuk pindah ke Bab berikutnya.

Dapatkan update Novel Terbaru pilihan dari kita dan sudah aku susun daftar lengkap novelnya ya free buat kalian yang suka baca. Mari bergabung di Grup Telegram "Novel Update", caranya klik link https://t.me/novelkupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca Juga Novel Lainnya Dibawah yang Pastinya Seru Juga :

Bab Selanjutnya
Bab Sebelumnya

0 komentar: