Jumat, 21 Oktober 2022

Baca Selengkapnya Novel Twilight Pandangan Pertama Bab 92

Novel Twilight merupakan novel seri pertama dari novel karangan Stephenie Meyer. Stephen juga mengeluarkan seri lanjutan dari Novel Twilight ini yaitu seri Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn .

Dalam novel karya pertama dari Stephenie Meyer ini kalian akan menemukan adegan-adegan yang menguras emosi seperti adegan romantis, permusuhan, perang dan konspirasi. Ceritanya juga diangkat menjadi film layar lebar yang selalu ditunggu-tunggu setiap serinya oleh para penggemar.

Sekarang, kalian  membaca Novel Twilight Bab 92 ini secara gratis dalam website Great Novel. Semoga bisa memberi para pembaca sekalian hiburan 😊



Baca Selengkapnya Novel Twilight – Pandangan Pertama Bab 92

"Kau marah," aku berkeras.

"Ya."

"Tapi kau baru bilang—"

"Aku tidak marah padamu. Tidak bisakah kau melihatnya, Bella?" Tiba-tiba ia tegang, seluruh selera humornya lenyap.

"Tidakkah kau mengerti?"

"Mengerti apa?" tuntutku, bingung dengan perubahan suasana hatinya yang tiba-tiba, begitu juga kata-katanya.

"Aku takkan pernah marah padamu—bagaimana mungkin bisa? Kau begitu berani, percaya... hangat."

“Lalu kenapa?" bisikku, mengingat suasana hatinya yang kelam yang menjauhkannya dariku, yang selalu kuinterpretasikan sebagai perasaan frustrasi yang rasional— frustrasi akan kelemahanku, kelambananku, dan reaksi manusiaku yang tak terkendali...

Hati-hati ia meletakkan tangannya di kedua sisi wajahku.

“Aku membangkitkan kemarahanku sendiri," katanya lembut.

“Karena selalu membahayakan dirimu. Eksistensiku sendiri membahayakanmu. Kadang-kadang aku benar-benar benci diriku sendiri. Aku harus lebih kuat, aku harus bisa –“


Kuletakkan tanganku di atas mulutnya. "Jangan." Ia meraih tanganku, memindahkannya dari bibirnya namun meletakkannya di wajahnya.

"Aku mencintaimu," karanya.

"Itu alasan menyedihkan untuk apa yang kulakukan, tapi itu masih benar." Itulah pertama kalinya ia menyatakan cintanya padaku—dalam begitu banyak kata-kata.

Ia mungkin tidak menyadarinya tapi aku tentu saja menyadarinya. "Sekarang kumohon bersikaplah yang baik," ia melanjutkan, dan membungkuk untuk menyapukan bibirnya dengan lembut di bibirku.

Aku diam tak bergerak. Lalu mendesah.

“Kau berjanji pada Kepala Polisi Swan akan mengantarku pulang tidak sampai larut, ingat? Sebaiknya kita pergi sekarang."

“Ya, Ma'am."

Ia tersenyum sedih dan melepaskanku, kecuali satu tanganku. Ia membimbingku menaiki ketinggian beberapa meter, menembus semak-semak yang basah dan padat, mengitari pohon cemara beracun yang besar sekali, dan kami pun sampai, di ujung lapangan terbuka yang luas di pangkuan puncak Pegunungan Olympic. Luasnya dua kali stadion bisbol.

Aku bisa melihat yang lain semua ada di sana; Esme, Emmett, dan Rosalie yang duduk di atas pecahan batu yang menonjol adalah yang terdekat dengan kami, mungkin jauhnya seratus meter.

Lebih jauh lagi aku bisa melihat Jasper dan Alice, setidaknya jaraknya seperempat mil, kelihatannya sedang melempar-lempar sesuatu, rapi aku tak melihat bolanya. Kelihatannya Carlisle sedang menandai base, tapi benarkah base-base itu terpisah sejauh itu? Ketika kami sampai, Esme, Emmett, dan Rosalie bangkit berdiri. Esme menghampiri kami.

Emmett mengikuti setelah menatap punggung Rosalie. Rosalie telah bangkit dengan gemulai dan melangkah ke lapangan tanpa melirik ke arah kami. Perutku langsung mual, gelisah. "Kaukah yang kami dengar tadi, Edward?" Esme bertanya sambil mendekati kami.

"Kedengarannya seperti beruang tersedak," Emmett membenarkan.


Aku tersenyum ragu-ragu kepada Esme. "Itu memang dia."

"Bella tahu-tahu melakukan sesuatu yang lucu," Edward menjelaskan, cepat-cepat membalasku.

Alice telah meninggalkan posisinya dan sedang berlari,

atau menari ke arah kami. Ia meluncur cepat dan berhenti dengan luwes di dekat kami. "Sudah waktunya," ia mengumumkan.

Begitu ia berbicara, gemuruh petir yang menggelegar mengguncang hutan, kemudian pecah di barat kota. "Menyeramkan, bukan?" kata Emmett dengan nada akrab, sambil mengedip padaku.

“Ayo.” Alice meraih tangan Emmett dan mereka berlari ke lapangan yang luas.

Alice berlari bagai rusa. Emmett juga nyaris seanggun dan secepat Alice—meski begitu ia takkan pernah bisa dibandingkan dengan rusa.

“Kau siap bermain?" Edward bertanya, tatapannya bersemangat, berkilat-kilat.

Aku mencoba terdengar bersemangat. "Ayo. tim!" Ia mengejek dan.

setelah mengacak-acak rambutku, mengejar kedua saudaranya. Larinya lebih agresif, lebih mirip Ia cheetah daripada rusa, dan dengan cepat ia mendahului mereka. Keanggunan dan kekuatan itu memesonaku.

"Mau ikut turun?" Esme bertanya dengan suaranya lembut dan merdu, dan aku menyadari telah melongo menatap Edward.

Dengan cepat kubenahi ekspresiku dan mengangguk. Esme tetap menjaga jarak beberapa meter di antar kami, dan aku bertanya-tanya apakah ia masih berhati-hati agar tidak membuatku takut. Ia menyamakan langkah kami tanpa terlihat tidak sabar.

"Anda tidak bermain bersama mereka?" tanyaku malumalu.

"Tidak, aku lebih suka jadi wasit—aku suka menjaga mereka tetap jujur," ia menjelaskan.

"Kalau begitu, apakah mereka suka bermain curang?"

"Oh ya—kau harus dengar argumentasi mereka! Sebenarnya, kuharap kau tak perlu mendengarnya, kau akan berpikir mereka dibesarkan sekawanan serigala."

"Anda terdengar seperti ibuku," aku tertawa, terkejut. Ia juga tertawa.

"Well, aku memang menganggap mereka anak-anakku dalam banyak hal. Aku tak pernah bisa menghilangkan naluri keibuanku—apakah Edward bilang bahwa aku kehilangan seorang anak?"

"Tidak," gumamku, terkejut, berusaha memahami masa kehidupan mana yang sedang diingatnya.

 "Ya, bayi pertamaku dan satu-satunya. Dia meninggal hanya beberapa hari setelah dilahirkan, makhluk kecil yang malang, ia mendesah. "Itu menghancurkan hatiku—itu sebabnya aku melompat dari tebing, kau tahu," tambahnya terus terang.

"Edward hanya bilang Anda j-jatuh," ujarku terbata-bata.


"Selalu sang pria sejati." Ia tersenyum.

"Edward putra baruku yang pertama. Aku selalu menganggapnya begitu, meskipun dia lebih tua dariku, setidaknya dalam satu cara." Ia tersenyum hangat padaku.

"Itu sebabnya aku senang dia menemukanmu. Sayang." Ungkapan sayang itu terdengar sangat alami meluncur dari bibirnya.

"Dia sudah terlalu lama menjadi laki-laki aneh, aku sedih melihatnya sendirian."

"Kalau begitu, Anda tidak keberatan?" aku bertanya, kembali ragu-ragu.

"Bahwa aku... sangat tidak tepat untuknya?"

"Tidak." Ia tampak bersimpati.

"Kaulah yang diinginkannya. Entah bagaimana, pasti akan ada jalan keluarnya," katanya, meskipun dahinya berkerut waswas.

Gelegar petir terdengar lagi.

Novel Twilight – Pandangan Pertama Bab 92 Telah Selesai

Bagaimana Novel Twilight - Pandangan Pertama Bab 92 nya? Seru bukan? Jangan lupa untuk membaca kelanjutan kisahnya di bab-bab selanjutnya ya Novel Lovers.

Silahkan klik navigasi Babnya di bawah ini untuk pindah ke Bab berikutnya.

Dapatkan update Novel Terbaru pilihan dari kita dan sudah aku susun daftar lengkap novelnya ya free buat kalian yang suka baca. Mari bergabung di Grup Telegram "Novel Update", caranya klik link https://t.me/novelkupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca Juga Novel Lainnya Dibawah yang Pastinya Seru Juga :

Bab Selanjutnya
Bab Sebelumnya

0 komentar: