Novel Twilight merupakan novel seri pertama dari novel karangan Stephenie Meyer. Stephen juga mengeluarkan seri lanjutan dari Novel Twilight ini yaitu seri Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn .
Dalam novel karya pertama dari Stephenie Meyer ini kalian akan menemukan adegan-adegan yang menguras emosi seperti adegan romantis, permusuhan, perang dan konspirasi. Ceritanya juga diangkat menjadi film layar lebar yang selalu ditunggu-tunggu setiap serinya oleh para penggemar.
Sekarang, kalian membaca Novel Twilight Bab 12 ini secara gratis dalam website Great Novel. Semoga bisa memberi para pembaca sekalian hiburan 😊
Baca Selengkapnya Novel Twilight – Pandangan Pertama Bab 12
Wajahnya tampak sangat putus asa hingga aku berusaha untuk tidak memandangnya melebihi batas kesopanan seharusnya.
"Lalu kenapa kau datang ke sini?"
Tak seorang pun menanyakan itu padaku—tidak blakblakan seperti dirinya, begitu menuntut jawaban.
"Jawabannya— rumit."
"Rasanya aku bisa mengerti," desaknya.
Lama aku diam, lalu membuat kesalahan dengan beradu pandang dengannya. Mata keemasannya yang gelap membuatku bingung dan aku menjawab tanpa berpikir.
"Ibuku menikah lagi," kataku.
"Itu tidak terdengar terlalu rumit," bantahnya, tapi tibatiba ia terlihat bersimpati. "Kapan itu terjadi?" “September lalu." Suaraku terdengar sedih, bahkan untukku sendiri.
“Dan kau tak menyukainya," Edward mencoba menebak, suaranya masih ramah.
"Tidak, Phil baik. Terlalu muda barangkali, tapi cukup baik."
"Kenapa kau tidak tinggal bersama mereka?"
Aku tak bisa mengerti ketertarikannya, tapi ia terus menatapku dengan pandangan menusuk, seolah kisah hidupku yang membosankan entah mengapa sangat penting.
"Phil sering bepergian. Dia pemain bola." Aku setengah tersenyum.
"Apakah dia terkenal?" tanyanya, balas tersenyum. "Barangkali tidak. Dia bukan pemain andal. Benar-benar liga kecil. Dia sering berpindah-pindah." "Dan ibumu mengirimmu ke sini supaya dia bisa bepergian dengannya." Lagi-lagi ia melontarkan dugaan, bukan pertanyaan.
Dahiku mengerut. "Tidak, dia tidak mengirimku ke sini.
Aku sendiri yang mau."Alisnya bertaut.
"Aku tak mengerti," katanya, dan ia tampak bingung tanpa sebab mendengar kenyataan ini. Aku menghela napas. Kenapa aku menjelaskan semua ini padanya? Ia terus menatapku penasaran.
"Mula-mula dia tinggal denganku, tapi dia merindukan Phil. Ini membuatnya tidak bahagia... jadi kuputuskan sudah waktunya menghabiskan waktu yang lebih berkualitas bersama Charlie." Suaraku terdengar muram ketika selesai bercerita.
"Tapi sekarang kau tidak bahagia," ujarnya.
"Terus?" tantangku.
"Itu tidak adil." Ia mengangkat bahu, namun tatapannya masih tajam.
Aku tertawa sinis. "Tidakkah ada yang pernah memberitahumu? Hidup tidak adil."
"Aku yakin pernah mendengarnya di suatu tempat sebelum ini," timpalnya datar.
"Ya sudah, itu saja," kataku, bertanya-tanya kenapa ia masih memandangiku seperti itu.
Tatapannya berubah menilai. "Kau pandai berpurapura,” katanya pelan.
"Tapi aku berani bertaruh kau lebih menderita daripada yang kauperlihatkan pada orang lain." Aku nyengir, menahan keinginan untuk menjulurkan lidahku seperti anak lima tahun, lalu memalingkan wajah.
"Apa aku salah?"Aku mencoba mengabaikannya.
"Kurasa tidak." gumamnya puas.
"Kenapa ini penting buatmu?" tanyaku jengkel. Aku terus menghindari pandangannya, mengawasi Mr. Banner yang sedang berkeliling.
"Pertanyaan yang sangat bagus,” ujarnya, teramat pelan hingga kupikir ia sedang berbicara pada dirinya sendiri. Bagaimanapun setelah hening sebentar aku memutuskan itu satu-satunya jawaban yang bisa kudapat.
Aku menghela napas, memandang marah ke papan tulis. "Apa aku mengganggumu?" tanya Edward. Ia terdengar senang.
Aku memandangnya tanpa berpikir... dan sekali lagi mengatakan yang sebenarnya.
"Tidak juga. Aku lebih kesal pada diriku sendiri. Ekspresiku sangat mudah ditebak— ibuku selalu menyebutku buku yang terbuka." Wajahku merengut.
"Kebalikannya, aku malah sulit menebakmu." Terlepas dari semua yang kukatakan dan diduganya, ia terdengar bersungguh-sungguh.
“Kalau begitu kau pasti sangat pintar membaca sifat orang,” balasku.
"Biasanya." Ia tersenyum lebar, memamerkan sederet gigi putih yang sempurna.
Mr. Banner menyuruh murid-murid tenang, dan aku berbalik lega untuk mendengarkan. Aku tak percaya telah menceritakan kehidupanku yang membosankan pada cowok aneh namun tampan ini, yang mungkin membenciku atau tidak. Ia tampak menikmati percakapan kami, tapi sekarang bisa kulihat, dari sudut mataku, bahwa ia menjauh lagi dariku, tangannya dengan tegang mencengkeram ujung meja.
Aku berusaha terlihat menyimak ketika Mr. Banner menjelaskan dengan menggunakan transparasi OHP, tentang apa yang telah kulihat tanpa kesulitan lewat mikroskop. Tapi aku tak bisa mengumpulkan pikiranku. Ketika bel akhirnya berbunyi, Edward langsung meninggal kan kelas dengan gerakan anggun seperti yang dilakukannya Senin lalu.
Dan seperti Senin lalu, aku memandangi kepergiannya dengan terkagum-kagum. Mike dengan cepat melompat ke sisiku dan merapikan buku-bukuku. Aku membayangkannya dengan ekor bergoyang-goyang.
"Itu buruk sekali," erangnya. "Semua isi slide itu mirip.
Kau beruntung berpasangan dengan Cullen."
"Gampang saja buatku," kataku, terkejut mendengar ucapannya. Aku langsung menyesal. "Aku pernah melakukan percobaan ini, itu saja," lanjutku sebelum perasaannya terluka.
"Cullen tampak cukup ramah hari ini," ia berkomentar ketika kami mengenakan jas hujan. Mike tidak tampak senang.
Aku berusaha terdengar kasual. "Aku bertanya-tanya apa yang terjadi padanya Senin lalu."
Aku tak sanggup menyimak celotehan Mike sepanjang perjalanan menuju gimnasium, dan pelajaran Olahraga tidak terlalu menarik perhatianku. Mike satu tim denganku hari ini. Ia mau berbaik hati menggantikan posisiku sekaligus menjalankan posisinya, sehingga lamunanku hanya terusik ketika aku mendapat giliran melakukan serve. Anggota timku dengan hati-hati menghindar setiap kali giliranku tiba.
Hujan hanya rintik-rintik ketika aku berjalan ke lapangan parkir, tapi aku merasa lebih gembira setelah berada di trukku yang kering. Kunyalakan mesin penghangat, sekali ini tak memedulikan suara mesin yang meraung-raung. Aku membuka jaket, melepas tudungnya, dan menggeraikan rambut lembabku agar mengering dalam perjalanan pulang.
Aku memandang sekelilingku memastikan tak ada siapasiapa. Saat itulah aku menangkap sosok pucat yang diam tak bergerak itu. Edward Cullen sedang bersandar di pintu depan Volvo, yang jaraknya tiga mobil dariku, matanya menatapku lekat-lekat. Aku langsung mengalihkan pandangan dan memundurkan truk, begitu terburu-buru hingga nyaris menabrak sebuah Toyota Corolla berkarat. Toyota itu beruntung, aku menginjak rem tepat pada waktunya.
Trukku jenis penghancur. Aku menarik napas panjang, masih melihat ke sisi lain mobil, dan berhati-hati mundur lagi, kali ini lebih baik. Aku memandang lurus ke depan ketika melewati Volvo itu, namun sekilas aku bersumpah melihatnya tertawa.
Novel Twilight – Pandangan Pertama Bab 12 Telah Selesai
Bagaimana Novel Twilight - Pandangan Pertama Bab 12 nya? Seru bukan? Jangan lupa untuk membaca kelanjutan kisahnya di bab-bab selanjutnya ya Novel Lovers.
Silahkan klik navigasi Babnya di bawah ini untuk pindah ke Bab berikutnya.
Dapatkan update Novel Terbaru pilihan dari kita dan sudah aku susun daftar lengkap novelnya ya free buat kalian yang suka baca. Mari bergabung di Grup Telegram "Novel Update", caranya klik link https://t.me/novelkupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Baca Juga Novel Lainnya Dibawah yang Pastinya Seru Juga :
- Novel Lelaki Yang Tak Terlihat Kaya
- Novel Romantis Pengantin Pengganti
- Novel Elena : Si Gadis Tangguh
- Novel Charlie Wade Si Kharismatik
- Novel Romantis My Lovely Boss
- Novel Perintah Kaisar Naga
- Novel My Imperfect CEO
- NOVEL KISAH ISTRI BAYARAN
- Novel Perceraian Ke-99
0 komentar: