Senin, 24 Oktober 2022

Baca Selengkapnya Novel Twilight Pandangan Pertama Bab 122

Novel Twilight merupakan novel seri pertama dari novel karangan Stephenie Meyer. Stephen juga mengeluarkan seri lanjutan dari Novel Twilight ini yaitu seri Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn .

Dalam novel karya pertama dari Stephenie Meyer ini kalian akan menemukan adegan-adegan yang menguras emosi seperti adegan romantis, permusuhan, perang dan konspirasi. Ceritanya juga diangkat menjadi film layar lebar yang selalu ditunggu-tunggu setiap serinya oleh para penggemar.

Sekarang, kalian  membaca Novel Twilight Bab 122 ini secara gratis dalam website Great Novel. Semoga bisa memberi para pembaca sekalian hiburan 😊



Baca Selengkapnya Novel Twilight – Pandangan Pertama Bab 122

EPILOG: ACARA ISTIMEWA

EDWARD membantuku naik ke mobilnya, sangat berhati-hati dengan sutra dan shiffon-nya, bunga-bunga yang baru saja disematkannya di rambutku yang ditata ikal penuh gaya, serta tongkat berjalanku.

Ia mengabaikan bibirku yang cemberut sangat marah. Setelah aku duduk nyaman, ia menyelinap ke jok pengemudi, dan melaju mundur dari jalanan sempit dan panjang itu.

“Kapan tepatnya kau akan memberitahuku apa yang terjadi?” gerutuku.

Aku benar-benar tidak suka kejutan.

Dan ia tahu itu.

“Aku benar-benar terkejut kau belum mengetahuinya juga.” Ia tersenyum mengejek, dan aku tercekat. Apakah aku bakal terbiasa dengan kesempurnaannya?

“Aku sudah bilang kau terlihat sangat tampan, bukan?” ujarku.

“Sudah.” Ia tersenyum.

Aku belum pernah melihatnya mengenakan hitam. Warna itu sangat kontras dengan kulitnya yang pucat, membuat ketampanannya benar-benar bagaikan mimpi.

Itu tak dapat kusangkal, bahkan kalaupun kenyataan dirinya mengenakan tuksedo membuatku sangat gugup.

Tidak segugup yang ditimbulkan gaunku.

Atau sepatu yang kukenakan. Sepatuku hanya satu, berhubung kakiku yang lain masih rapat terbalut gips. Tapi hak stiletto yang kukenakan hanya dipegangi tali sutra, dan itu jelas takkan membantuku saat berjalan terpincang-pincang begini.


“Aku takkan bertamu lagi kalau Alice akan memperlakukanku seperti Barbie Percobaan,” sahutku seraya mencengkeram jok kursi.

Aku menghabiskan sebagian besar hariku di kamar Alice yang sangat luas, menjadi korban tak berdaya saat ia berperan jadi penata rambut dan penata rias. Setiap kali aku merasa tak nyaman atau mengeluh, ia mengingatkanku bahwa ia sama sekali tidak ingat bagaimana rasanya menjadi manusia, dan memintaku tidak menghancurkan kesenangannya.

Kemudian ia memakaikan gaun paling konyol— warna biru gelap, berimpel, dan tanpa lengan, dengan label berbahasa Prancis yang tak kumengerti—gaun yang lebih cocok dikenakan dalam peragaan busana daripada di Forks.

Tak ada yang bagus dari pakaian formal kami, aku yakin itu. Kecuali... tapi aku takut menguraikan kecurigaanku, bahkan dalam pikiranku sendiri. Perhatianku teralih dering telepon. Edward mengeluarkan ponsel dari saku dalam jasnya, melihat sebentar ke layar sebelum menjawab.

“Halo, Charlie,” sahutnya hati-hati.

“Charlie?” Dahiku berkerut.

Charlie... agak sedikit kurang bersahabat sejak kepulangan-ku ke Forks. Ia menyikapi pengalaman burukku dalam dua sikap.

Terhadap Carlisle, ia teramat sangat bersyukur dan berterima kasih. Di sisi lain ia sangat yakin semua ini salah Edward—sebab kalau bukan karena Edward, aku tidak akan meninggalkan rumah. Dan Edward sama sekali tidak menentangnya.

Belakangan ini Charlie memberlakukan beberapa peraturan yang tak pernah diterapkannya padaku sebelumnya: jam malam... jam berkunjung.


Sesuatu yang dikatakan Charlie membuat mata Edward membelalak rak percaya, kemudian senyuman langsung mengembang di wajahnya.

“Kau bercanda!” Ia tertawa.

“Ada apa?” desakku.

Ia mengabaikanku.

“Biarkan aku bicara padanya,” saran Edward, kegembiraannya tampak nyata.

Ia menunggu sebentar.

“Halo, Tyler, ini Edward Cullen.” Suaranya sangat ramah, tapi hanya di permukaan.

Aku mengenalnya cukup baik untuk menangkap kejailan di baliknya. Apa yang dilakukan Tyler di rumahku? Kebenaran mengerikan mulai terbentuk di benakku. Sekali lagi aku memandang gaun yang kukenakan atas paksaan Alice itu.

“Aku menyesal kalau ada semacam kesalahpahaman, tapi Bella sudah punya teman kencan malam ini.” Nada suara Edward berubah, dan ancaman dalam suaranya tibatiba jauh lebih nyata saat ia melanjutkan kata-katanya.

“Dan sejujurnya dia tidak akan punya waktu untuk siapa pun kecuali aku, setiap malam. Jangan tersinggung. Aku menyesal malammu tidak menyenangkan.” Ia sama sekali tidak terdengar menyesal.

Kemudian ia menutup telepon, senyum lebar menghiasi wajahnya.

Wajah dan leherku merah padam karena marah. Aku bisa merasakan air mata kemarahan menggenangi mataku. Ia terkejut melihatku.

“Apakah bagian terakhir tadi kelewatan? Aku tak bermaksud menyinggung perasaanmu.” Aku mengabaikan kata-katanya.

“Kau mengajakku ke prom!” teriakku. Sekarang semua sudah jelas.

Kalau saja aku memerhatikan sejak awal, aku yakin pasti bisa melihat tanggal di poster-posrer di seluruh penjuru sekolah. Tapi aku tak pernah menyangka ia bakal mengajakku. Tidakkah Edward mengenalku sama sekali?

Ia tidak mengira reaksiku bakal begitu, itu sudah jelas. Ia mengatupkan bibir dan matanya menyipit. “Jangan mempersulit keadaan. Bella.”

Aku menoleh ke luar jendela; kami sudah setengah jalan menuju sekolah.

“Kenapa kau melakukan ini padaku?” tanyaku cemas. Ia menunjuk tuksedonya.

“Sungguh, Bella, menurutmu apa yang kita lakukan?”

Aku merasa dipermalukan. Pertama, karena aku tidak melihat apa yang tampak jelas di depan mata. Juga karena kecurigaan samar—sebenarnya harapan—yang berkembang di hatiku seharian ini, mengingat Alice mencoba mengubahku jadi ratu kecantikan, benar-benar jauh melenceng.

Harapanku yang setengah mengerikan kelihatannya sangat konyol sekarang.


Aku sudah menduga sesuatu sedang terjadi. Tapi prom, yang benar saja! Itu sama sekali tak terpikirkan olehku.

Air mata kemarahan menetes di pipiku. Aku cemas mengingat aku tak terbiasa mengenakan maskara. Bergegas kuusap bagian bawah mataku agar maskaranya tidak belepotan.

Tanganku tidak hitam ketika kutarik; barangkali Alice tahu aku membutuhkan makeup antiair.

“Ini benar-benar konyol. Kenapa kau menangis?” tanya Edward kesal.

“Karena aku marah!”

“Bella.” Mata keemasannya menatapku lekat-lekat.

“Apa?” gumamku, bingung.

“Ayolah,” desaknya.

Tatapannya mencairkan segenap amarahku. Mustahil bertengkar dengannya kalau ia bersikap curang seperti itu.

Aku menyerah.

“Baiklah.” Bibirku mencebik, aku tak mampu memelototinya segalak yang kuinginkan.

“Aku akan ikuti maumu. Tapi nanti akan kaulihat. Nasib burukku belum berakhir. Barangkali aku akan mematahkan kakiku yang lain. Lihat sepatu ini! Ini jerat kematian!” Aku menjulurkan kakiku yang sehat sebagai buktinya.

“Hmmm.” Ia memandangi kakiku lebih lama dari seharusnya.

“Ingatkan aku untuk berterima kasih pada Alice untuk hal itu nanti malam.”

“Alice akan datang?” Ini sedikit menenangkan. “Bersama Jasper, dan Emmett... dan Rosalie,” ia mengakui.

Novel Twilight – Pandangan Pertama Bab 122 Telah Selesai

Bagaimana Novel Twilight - Pandangan Pertama Bab 122 nya? Seru bukan? Jangan lupa untuk membaca kelanjutan kisahnya di bab-bab selanjutnya ya Novel Lovers.

Silahkan klik navigasi Babnya di bawah ini untuk pindah ke Bab berikutnya.

Dapatkan update Novel Terbaru pilihan dari kita dan sudah aku susun daftar lengkap novelnya ya free buat kalian yang suka baca. Mari bergabung di Grup Telegram "Novel Update", caranya klik link https://t.me/novelkupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca Juga Novel Lainnya Dibawah yang Pastinya Seru Juga :

Bab Selanjutnya
Bab Sebelumnya

0 komentar: