Novel Twilight merupakan novel seri pertama dari novel karangan Stephenie Meyer. Stephen juga mengeluarkan seri lanjutan dari Novel Twilight ini yaitu seri Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn .
Dalam novel karya pertama dari Stephenie Meyer ini kalian akan menemukan adegan-adegan yang menguras emosi seperti adegan romantis, permusuhan, perang dan konspirasi. Ceritanya juga diangkat menjadi film layar lebar yang selalu ditunggu-tunggu setiap serinya oleh para penggemar.
Sekarang, kalian membaca Novel Twilight Bab 129 ini secara gratis dalam website Great Novel. Semoga bisa memberi para pembaca sekalian hiburan 😊
Baca Selengkapnya Novel Twilight – New Moon Bab 129
EDWARD tidak senang, perasaan itu dengan mudah bisa dibaca dari ekspresinya. Namun tanpa berargumen lebih jauh lagi, ia membopongku dan melompat lincah dari jendelaku, mendarat tanpa entakan sedikit pun, seperti kucing.
Ternyata lumayan tinggi juga jarak dari jendela ke tanah, tidak seperti dugaanku.
"Baiklah kalau begitu," kata Edward, suaranya sinis oleh sikap tidak setuju.
"Naiklah." Ia membantuku naik ke punggungnya, lalu melesat secepat kilat.
Bahkan setelah sekian lama tidak menaiki punggungnya lagi, rasanya itu seperti sesuatu yang rutin. Mudah. Terbukti ini sesuatu yang tak pernah dilupakan, seperti naik sepeda.
Sunyi senyap dan gelap saat Edward berlari menembus hutan, embusan napasnya lambat dan teratur—saking gelapnya, pepohonan yang terbang melewati kami nyaris tak terlihat, dan hanya embusan kuat angin menerpa wajah yang menunjukkan betapa cepat Edward berlari. Udara lembab; tidak membakar mataku seperti angin di alun-alun besar waktu itu, dan rasanya nyaman. Malam juga terasa menenangkan, setelah siang benderang yang menakutkan itu.
Seperti waktu aku masih kecil, bermain di balik selubung selimut tebal, kegelapan ini terasa familier dan melindungi. Aku ingat bagaimana berlari menembus hutan seperti ini dulu membuatku ngeri, bagaimana dulu aku selalu memejamkan mata. Rasanya itu reaksi yang tolol sekarang. Kubuka mataku lebar-lebar, dagu menempel di bahunya, dan pipiku di lehernya. Kecepatannya sungguh menggairahkan. Seratus kali lebih asyik daripada naik motor.
Aku memalingkan wajah menghadap wajah Edward dan menempelkan bibirku ke kulit lehernya yang dingin dan keras.
"Terima kasih," ucapnya, sementara bayanganbayangan hitam samar pepohonan melesat di samping kami.
"Apakah itu berarti kau memutuskan bahwa kau sudah bangun?" Aku tertawa. Suara tawaku terdengar ringan, alami, renyah. Pas. "Tidak juga. Bagaimanapun,
lebih dari itu aku tidak mau bangun. Tidak malam ini."
"Aku akan mengembalikan lagi kepercayaanmu padaku, bagaimanapun caranya," gumam Edward, lebih ditujukan pada dirinya sendiri.
"Walaupun itu jadi hal terakhir yang kulakukan."
"Aku percaya padamu kok," aku meyakinkan dia.
"Aku justru tidak percaya pada diriku sendiri."
"Tolong jelaskan."
Edward memperlambat larinya dan berjalan aku tahu itu karena terpaan angin mereda dan dugaanku, kami tak jauh dari rumahnya. Malah, kalau tidak salah aku bisa mendengar suara air sungai mengalir dalam gelap, di suatu tempat tak jauh dari sini.
“Well–“ aku memeras otak, berusaha menemukan cara yang tepat untuk menjelaskan maksudku.
“Aku tidak... cukup percaya pada diriku sendiri. Bahwa aku pantas mendapatkanmu. Aku tidak punya apa-apa yang bisa mempertahankanmu.”
Edward berhenti dan mengulurkan tangan ke belakang, menurunkan aku dari punggungnya. Tangannya yang lembut tidak melepaskanku; bahkan sesudah ia membantuku menjejakkan kaki
ke tanah, ia merangkulku erat-erat, mendekapku di dadanya.
"Aku milikmu selamanya, ikatan itu tak bisa dipatahkan," bisiknya.
"Jangan pernah ragukan itu.” Tapi bagaimana bisa aku tidak meragukannya?
"Kau belum memberi tahu...," gumamnya.
"Apa?"
"Apa masalah terbesarmu."
"Tebak saja sendiri.” Aku mendesah, kemudian mengulurkan tangan untuk menyentuh ujung hidungnya dengan telunjuk.
Edward mengangguk.
"Aku memang lebih buruk daripada keluarga Volturi," ucapnya muram. "Kurasa aku pantas mendapatkannya." Aku memutar bola mataku.
"Hal terburuk yang bisa dilakukan keluarga Volturi adalah membunuhku." Edward menunggu dengan sorot mata tegang.
"Kau bisa meninggalkan aku,'' aku menjelaskan.
"Keluarga Volturi, Victoria... mereka bukan apa-apa dibandingkan dengan kau meninggalkan aku." Bahkan dalam gelap aku bisa melihat kepedihan memilin wajahnya mengingatkanku pada ekspresinya di bawah tatapan Jane yang menyiksa; aku merasa muak, dan menyesal telah mengatakan hal yang sebenarnya.
"Jangan” bisikku, menyentuh wajahnya.
"Jangan sedih"
Edward mengangkat salah satu sudut mulutnya setengah hati, tapi ekspresi itu tidak menyentuh matanya.
"Kalau saja ada jalan untuk membuatmu percaya bahwa aku tak sanggup meninggalkanmu," bisiknya.
"Hanya waktu, kurasa, yang bisa meyakinkanmu”. Aku menyukai pikiran itu.
"Oke," aku setuju. Wajah Edward masih tampak tersiksa. Aku berusaha mengalihkan perhatiannya dengan halhal lain yang sepele.
"Jadi—karena kau sudah memutuskan akan tinggal di sini. Boleh aku mendapatkan kembali barang-barangku?" tanyaku, sengaja membuat nada suaraku seringan mungkin.
Usahaku berhasil, sampai batas tertentu: Edward tertawa. Namun sorot matanya masih sedih.
"Barang-barangmu tak pernah kubawa," jawabnya.
"Aku tahu itu salah, karena aku pernah berjanji akan meninggalkanmu tanpa hal-hal yang bisa mengingatkanmu padaku. Memang tolol dan kekanak-kanakan, tapi aku ingin meninggalkan sesuatu dari diriku untukmu. CD, foto-foto, tiket— semua tersimpan di bawah lantai papan kamarmu."
"Sungguh?"
Edward mengangguk, tampak sedikit terhibur melihat reaksiku yang jelas-jelas gembira mendengar fakta sepele itu. Namun belum cukup untuk menghapus kepedihan di wajahnya.
"Kurasa," ujarku lambat-lambat.
“Aku tidak yakin, tapi kurasa... kurasa mungkin aku sudah mengetahuinya sejak dulu."
"Apa yang kauketahui?"
Aku hanya ingin mengenyahkan sorot sedih ini dan mata Edward, namun saat aku mengucapkan kata-kata itu, kedengarannya justru sangat benar, lebih daripada yang kuduga.
“Sebagian diriku, mungkin alam bawah sadarku tidak pernah berhenti meyakini bahwa kau tetap peduli padaku, apakah aku hidup atau sudah mari. Mungkin itulah sebabnya aku mendengar suara-suara."
Sejenak, suasana sunyi senyap. Suara-suara? tanya Edward datar.
"Well, hanya satu suara. Suaramu. Ceritanya panjang." Ekspresi kecut di wajah Edward membuatku berharap aku tidak mengungkit-ungkit masalah itu.
Akankah ia mengira aku sinting, seperti orang-orang lain? Apakah perkiraan orangorang itu benar? Tapi paling tidak ekspresi itu yang membuat Edward terlihat seolah-olah terbakar mereda.
"Aku punya waktu kok." Suara Edward terdengar kaku dan datar.
"Ceritanya menyedihkan." Edward menunggu.
Aku tak yakin bagaimana menjelaskannya.
"Ingatkah kau waktu Alice menyebut tentang olah raga ekstrem?"
Novel Twilight – New Moon Bab 129 Telah Selesai
Bagaimana Novel Twilight - New Moon Bab 129 nya? Seru bukan? Jangan lupa untuk membaca kelanjutan kisahnya di bab-bab selanjutnya ya Novel Lovers.
Silahkan klik navigasi Babnya di bawah ini untuk pindah ke Bab berikutnya.
Dapatkan update Novel Terbaru pilihan dari kita dan sudah aku susun daftar lengkap novelnya ya free buat kalian yang suka baca. Mari bergabung di Grup Telegram "Novel Update", caranya klik link https://t.me/novelkupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Baca Juga Novel Lainnya Dibawah yang Pastinya Seru Juga :
- Novel Lelaki Yang Tak Terlihat Kaya
- Novel Romantis Pengantin Pengganti
- Novel Elena : Si Gadis Tangguh
- Novel Charlie Wade Si Kharismatik
- Novel Romantis My Lovely Boss
- Novel Perintah Kaisar Naga
- Novel My Imperfect CEO
- NOVEL KISAH ISTRI BAYARAN
- Novel Perceraian Ke-99

0 komentar: