Rabu, 09 November 2022

Novel Twilight : NEW MOON Bab 121

Novel Twilight merupakan novel seri pertama dari novel karangan Stephenie Meyer. Stephen juga mengeluarkan seri lanjutan dari Novel Twilight ini yaitu seri Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn .

Dalam novel karya pertama dari Stephenie Meyer ini kalian akan menemukan adegan-adegan yang menguras emosi seperti adegan romantis, permusuhan, perang dan konspirasi. Ceritanya juga diangkat menjadi film layar lebar yang selalu ditunggu-tunggu setiap serinya oleh para penggemar.

Sekarang, kalian  membaca Novel Twilight Bab 121 ini secara gratis dalam website Great Novel. Semoga bisa memberi para pembaca sekalian hiburan 😊




Baca Selengkapnya Novel Twilight – New Moon Bab 121

"Dia mencuri mobil juga, pasti?" tebakku. Edward nyengir.

"Tidak sampai kita berada di luar."

Rasanya jauh sekali baru kami sampai di pintu gerbang. Edward bisa melihat aku kelelahan; ia merangkul pinggangku dan memapahku hampir sepanjang perjalanan.

Aku bergidik saat ia menarikku melewati gerbang batu hitam melengkung. Jeruji besar kuno yang menggantung di atas tampak seperti pintu kerangkeng, mengancam hendak menimpa kami, mengurung kami di dalam.

Edward membimbingku ke mobil berwarna gelap, yang menunggu dalam lingkaran bayangan di kanan gerbang dengan mesin menyala. Aku terkejut waktu Edward menyusup masuk ke jok belakang bersamaku, tidak bersikeras mengemudikannya.

Alice meminta maaf. "Maafkan aku." Ia melambaikan tangan ke dasbor.

"Tidak banyak pilihan."

"Tidak apa-apa, Alice." Edward nyengir.

"Tidak bisa selalu memilih 911 Turbo." Alice mendesah.

"Aku harus memiliki salah satu mobil semacam itu secara legal. Sungguh luar biasa."

"Nanti kubelikan satu untuk hadiah Natal," janji Edward.

Alice menoleh dan menatap Edward dengan senyum berseri-seri, dan itu membuatku khawatir, karena saat itu ia sudah ngebut menuruni jalan perbukitan yang gelap dan berkelok-kelok.



"Kuning," katanya.

Edward tetap merangkulku erat-erat. Dalam selubung jubah abu-abunya, aku merasa hangat dan nyaman. Lebih dari nyaman.

"Kau bisa tidur sekarang, Bella," bisiknya.

"Sudah berakhir."

Aku tahu yang dimaksud Edward adalah bahaya, mimpi buruk di kota kuno, tapi aku masih harus menelan ludah dengan susah payah sebelum bisa menjawab.

“Aku tidak mau tidur. Aku tidak capek." Kalimat terakhir itu tidak benar.

Yang benar adalah aku belum mau memejamkan mata. Mobil ini hanya diterangi samar-samar oleh nyala lampu panel dasbor, tapi itu sudah cukup untuk bisa melihat wajahnya.

Edward menempelkan bibirnya di cekungan di bawah telingaku. "Cobalah," bujuknya. Aku menggeleng.

Edward mendesah. "Kau masih saja keras kepala." Aku memang keras kepala; mati-matian aku melawan kelopak mataku yang berat, dan aku menang.

Bagian tersulit adalah melewati jalan yang gelap; lampu-lampu benderang di bandara Florence sedikit melegakan hati, begitu juga kesempatan untuk menyikat gigi dan ganti baju dengan pakaian bersih; Alice membelikan Edward baju baru juga, dan Edward membuang jubah hitamnya ke tong sampah di sebuah gang.

Penerbangan ke Roma hanya sebentar hingga kelelahan tidak sempat membuatku tertidur. Tapi aku tahu penerbangan dari Roma ke Atlanta akan sangat berbeda, jadi kuminta pramugari membawakan segelas Cocacola.

"Bella,” tegur Edward tidak senang. Ia tahu biasanya aku tidak menolerir minuman yang mengandung kafein.

Alice duduk di belakang kami. Aku bisa mendengarnya berbisik-bisik dengan Jasper di telepon.

"Aku tidak mau tidur," aku mengingatkannya.

Aku memberi alasan yang bisa dipercaya karena itu memang benar.

"Kalau aku memejamkan mata sekarang, aku akan melihat hal-hal yang tidak ingin kulihat. Bisa-bisa aku malah bermimpi buruk.”


Edward tidak membantahku lagi setelah itu. Sebenarnya ini saat yang tepat sekali untuk mengobrol, untuk mendapat jawaban yang kubutuhkan—dibutuhkan tapi tidak benar-benar diinginkan; belum-belum aku sudah merasa sulit memikirkan apa yang bakal kudengar.

Waktu yang panjang membentang di hadapan kami tanpa gangguan apa pun, dan Edward tidak mungkin melarikan diri dariku di atas pesawat—well, setidaknya, tidak semudah itu. Tidak ada yang bisa mendengar kami kecuali Alice; hari sudah larut malam, dan sebagian besar penumpang mematikan lampu dan meminta bantal dengan suara pelan. Mengobrol bisa membantuku melawan kelelahan.

Namun, anehnya, aku malah menutup mulutku rapat-rapat dari banjir pertanyaan. Pertimbanganku mungkin salah karena kelelahan, tapi aku berharap dengan menunda pembicaraan, aku bisa meminta waktu beberapa jam dengannya nanti—memperpanjang kebersamaan ini satu malam lagi, ala Scheherazade, Jadilah aku minum bergelas-gelas soda, bahkan berkedip pun aku nyaris tak mau. Edward tampaknya cukup senang bisa mendekapku dalam pelukannya, jari-jarinya menelusuri wajahku lagi dan lagi.

Aku juga menyentuh wajahnya. Aku tak sanggup menghentikan diriku sendiri, meski takut itu akan menyakitiku nanti, kalau aku sudah sendirian lagi. Edward terus saja menciumi rambutku, keningku, pergelangan tanganku... tapi tak pernah bibirku, dan itu bagus.

Soalnya, berapa kali hati yang hancur lebur masih bisa diharapkan pulih kembali' Beberapa hari terakhir ini, aku bertahan melewati berbagai peristiwa yang seharusnya mengakhiri hidupku, tapi itu tidak membuatku merasa kuat. Malah aku merasa sangat rapuh, seakan-akan satu kata saja sanggup menghancurkanku.


Edward juga diam saja. Mungkin ia berharap aku akan tidur. Mungkin memang tak ada yang ingin ia katakan.

Aku memenangkan adu kekuatan melawan kelopak mataku yang berat. Mataku masih terbuka lebar saat kami mencapai bandara di Atlanta, dan aku bahkan sempat melihat matahari terbit di awan-awan di atas kota Seattle sebelum Edward menutup jendela rapat-rapat. Aku bangga pada diriku sendiri. Tak satu menit pun terlewatkan.

Baik Alice maupun Edward sama sekali tidak terkejut melihat rombongan yang menunggu kedatangan kami di Bandara Sea-Tac, tapi aku kaget luar biasa. Jasper adalah yang pertama kulihat—tampaknya ia tidak melihatku sama sekali Matanya hanya, tertuju pada Alice.

Alice bergegas mendapatkannya; mereka tidak berpelukan seperti pasangan-pasangan lain yang bertemu di sini Keduanya hanya saling memandang wajah masingmasing, namun, entah mengapa, momen itu justru terasa sangat pribadi sampai-sampai aku merasa perlu membuang muka.

Carlisle dan Esme menunggu di sudut sepi jauh dan antrean di depan metal detector. dalam naungan pilar besar. Esme mengulurkan tangan, memelukku erat-erat dengan sikap canggung, karena Edward tidak melepaskan pelukannya dariku.

Novel Twilight – New Moon Bab 121 Telah Selesai

Bagaimana Novel Twilight - New Moon Bab 121 nya? Seru bukan? Jangan lupa untuk membaca kelanjutan kisahnya di bab-bab selanjutnya ya Novel Lovers.

Silahkan klik navigasi Babnya di bawah ini untuk pindah ke Bab berikutnya.

Dapatkan update Novel Terbaru pilihan dari kita dan sudah aku susun daftar lengkap novelnya ya free buat kalian yang suka baca. Mari bergabung di Grup Telegram "Novel Update", caranya klik link https://t.me/novelkupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca Juga Novel Lainnya Dibawah yang Pastinya Seru Juga :

Bab Selanjutnya
Bab Sebelumnya

0 komentar: