Selasa, 08 November 2022

Novel Twilight : NEW MOON Bab 119

Novel Twilight merupakan novel seri pertama dari novel karangan Stephenie Meyer. Stephen juga mengeluarkan seri lanjutan dari Novel Twilight ini yaitu seri Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn .

Dalam novel karya pertama dari Stephenie Meyer ini kalian akan menemukan adegan-adegan yang menguras emosi seperti adegan romantis, permusuhan, perang dan konspirasi. Ceritanya juga diangkat menjadi film layar lebar yang selalu ditunggu-tunggu setiap serinya oleh para penggemar.

Sekarang, kalian  membaca Novel Twilight Bab 119 ini secara gratis dalam website Great Novel. Semoga bisa memberi para pembaca sekalian hiburan 😊




Baca Selengkapnya Novel Twilight – New Moon Bab 119

DEMETRI meninggalkan kami di ruang penerimaan ramu yang mewah dan ceria iru, tempar wanita bernama Gianna bertugas di balik konter yang mengilat. Musik yang merdu dan ramah mengalun dari pengeras suara yang tersembunyi.

"Jangan keluar sebelum gelap," Demerri mengingarkan kami.

Edward mengangguk, dan Demerri bergegas pergi.

Gianna sama sekali tak terkejut mendengar perkataan itu, meski matanya mengawasi jubah yang dipinjam Edward dengan mata menyipit, berspekulasi.

"Kau baik-baik saja.'' tanya Edward pelan, terlalu pelan untuk bisa didengar oleh wanita manusia itu. Suaranya kasar – kalau beledu bisa dibilang kasar – oleh perasaan cemas. Pasti karena masih tertekan oleh situasi kami, pikirku.

"Sebaiknya segera dudukkan dia sebelum jatuh," kata Alice. Sepertinya dia akan kehilangan kendali."


Saat itu barulah aku sadar tubuhku gemetar, bergetar kuat, sekujurku berguncang sampai gigiku gemeletukan dan ruangan di sekelilingku berputar dan pandanganku kabur. Selama sedetik sempat aku bertanya dalam hati, seperti inikah yang Jacob rasakan sesaat sebelum meledak menjadi werewolf.

Aku mendengar suara yang tidak masuk akal, bunyi robekan aneh, meningkahi musik merdu yang mengalun di latar belakang. Karena tubuhku terguncang hebat, aku tak bisa memastikan dari mana suara itu berasal.

"Ssstt, Bella, ssstt, bisik Edward sambil menarikku ke sofa paling jauh dari pandangan manusia yang ingin tahu di meja. "Kurasa dia histeris.

“Mungkin sebaiknya kautampar saja dia," Alice menyarankan.

Edward memandangnya sekilas dengan kalut. Kemudian aku mengerti. Oh. Itu suaraku. Bunyi robekan itu ternyata isak tangis yang keluar dari dadaku. Itulah yang membuat tubuhku berguncang-guncang.

"Tidak apa-apa, kau aman, tidak apa-apa," bujuk Edward berkali-kali. Ia mengangkatku ke pangkuannya dan menyelubungi tubuhku dengan jubah wolnya yang tebal, melindungiku dari kulitnya yang dingin.

Aku tahu sungguh tolol bereaksi seperti ini.

Siapa yang tahu sampai kapan aku bisa melihat wajahnya? Ia selamat, aku selamat, dan ia bisa meninggalkan aku begitu kami bebas. Dengan mata dipenuhi air mata seperti ini hingga aku tak bisa melihat garis-garis wajahnya dengan jelas adalah kesia-siaan—kegilaan.

Namun di balik mataku, tempat air mata tak dapat menghapus bayangan itu, aku masih dapat melihat wajah putih seorang wanita mungil yang mencengkeram rosario.

"Orang-orang itu," seduku.

"Aku tahu," bisik Edward.

"Sungguh mengerikan.”

“Ya. memang. Seandainya kau tidak melihatnya tadi.”

Aku membaringkan kepalaku di dadanya yang dingin, menyeka maniku dengan jubah yang tebal. Aku menarik napas dalam-dalam beberapa kali, berusaha menenangkan diri.

"Ada yang bisa kubantu?” sebuah suara bertanya sopan.

Ternyata Gianna, mencondongkan tubuh di balik bahu Edward dengan raut wajah prihatin namun tetap profesional sekaligus menjaga jarak. Tampaknya ia sama sekali tidak merasa risi berada hanya beberapa sentimeter dari vampir yang galak. Entah ia benar-benar tidak menyadarinya, atau sangat baik dalam menjalankan tugasnya.

“Tidak," Edward menjawab dingin. Gianna mengangguk, tersenyum padaku, kemudian menghilang.

Aku menunggu sampai ia jauh. "Apakah dia tahu apa yang berlangsung di sini?" tanyaku, suaraku pelan dan parau. Aku mulai bisa menguasai diri, tarikan napasku mulai tenang.

“Ya. Dia tahu semuanya," Edward menjawab pertanyaanku.

“Tahukah dia bahwa mereka akan membunuhnya suatu hari nanti?"

"Dia tahu kemungkinannya begitu," jawab Edward.

Jawabannya membuatku terkejut. Wajah Edward sulit dibaca.

"Dia berharap mereka akan memutuskan untuk mempertahankannya."


Aku merasa darah surut dari wajahku. "Dia ingin menjadi salah satu dari mereka?"

Edward mengangguk, matanya tajam menatap wajahku, mengamati reaksiku. Aku bergidik.

 "Bagaimana mungkin dia menginginkan hal itu?” bisikku, lebih ditujukan pada diriku sendiri, bukan karena ingin mendapat jawaban.

"Bagaimana mungkin dia bisa setega itu, melihat orang-orang digelandang memasuki ruangan mengerikan itu, dan ingin menjadi bagian dari semua itu?"

Edward tidak menjawab. Ekspresinya berkerut, merespons perkataanku barusan. Saat aku menatap wajahnya yang begitu rupawan, berusaha memahami perubahannya,

mendadak terpikir olehku bahwa aku benar-benar berada di sini, dalam pelukan Edward, betapapun singkatnya, dan bahwa kami tidak—saat ini— hendak dibunuh.

"Oh, Edward," isakku, dan aku menangis lagi. Reaksi yang benar-benar tolol.

Air mataku terlalu deras sehingga aku tak bisa melihat wajahnya lagi, dan itu tak bisa dimaafkan. Padahal jelas aku hanya punya waktu sampai matahari terbenam. Bagaikan kisah dongeng, dengan tenggat waktu yang akan mengakhiri keajaiban.

"Ada apa?" tanya Edward, masih cemas, membelai-belai punggungku dengan tepukantepukan lembut.

Aku merangkul lehernya—apa hal terburuk yang bisa ia lakukan? Paling-paling mendorongku jauhjauh— dan merapatkan tubuh lebih dekat lagi padanya.

"Apakah aku gila bila aku justru merasa bahagia sekarang?" tanyaku. Suaraku tercekat.


Edward tidak mendorongku. Ia malah mendekapku erat-erat di dadanya yang sekeras es, begitu eratnya hingga aku sulit bernapas, bahkan dengan paru-paruku yang telah utuh kembali.

"Aku sangat mengerti maksudmu," bisiknya.

“Tapi kita punya banyak alasan untuk bahagia. Salah satunya, karena kira hidup."

"Ya." aku setuju.

"Itu alasan yang bagus.”

“Dan bersama-sama,” desah Edward.

Embusan napasnya begitu harum sehingga membuat kepalaku melayang.

Aku hanya mengangguk, yakin Edward tidak terlalu bersungguh-sungguh dengan perkataannya itu, seperti halnya aku.

“Dan kalau beruntung, kita akan tetap hidup besok."

“Mudah-mudahan,” sahutku gelisah.

"Peluangnya cukup bagus." Alice meyakinkanku. Selama ini ia lebih banyak diam, sampai-sampai aku nyaris melupakan kehadirannya.

"Aku akan bertemu lagi dengan Jasper dalam waktu kurang dari 24 jam," ia menambahkan dengan nada puas. Betapa beruntungnya Alice. Ia bisa memercayai masa depannya.

Novel Twilight – New Moon Bab 119 Telah Selesai

Bagaimana Novel Twilight - New Moon Bab 119 nya? Seru bukan? Jangan lupa untuk membaca kelanjutan kisahnya di bab-bab selanjutnya ya Novel Lovers.

Silahkan klik navigasi Babnya di bawah ini untuk pindah ke Bab berikutnya.

Dapatkan update Novel Terbaru pilihan dari kita dan sudah aku susun daftar lengkap novelnya ya free buat kalian yang suka baca. Mari bergabung di Grup Telegram "Novel Update", caranya klik link https://t.me/novelkupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca Juga Novel Lainnya Dibawah yang Pastinya Seru Juga :

Bab Selanjutnya
Bab Sebelumnya

0 komentar: