Novel Twilight merupakan novel seri pertama dari novel karangan Stephenie Meyer. Stephen juga mengeluarkan seri lanjutan dari Novel Twilight ini yaitu seri Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn .
Dalam novel karya pertama dari Stephenie Meyer ini kalian akan menemukan adegan-adegan yang menguras emosi seperti adegan romantis, permusuhan, perang dan konspirasi. Ceritanya juga diangkat menjadi film layar lebar yang selalu ditunggu-tunggu setiap serinya oleh para penggemar.
Sekarang, kalian membaca Novel Twilight Bab 23 ini secara gratis dalam website Great Novel. Semoga bisa memberi para pembaca sekalian hiburan 😊
Baca Selengkapnya Novel Twilight – New Moon Bab 23
WAKTU berlalu. Bahkan saat rasanya mustahil, waktu tetap tenis berjalan. Bahkan di saat setiap detik pergerakan jarum jam terasa menyakitkan, bagaikan denyut nadi di balik luka memar. Waktu seakan berlalu di jalan yang tidak rata, bergejolak dan diseret-seret, namun terus berjalan. Bahkan bagiku.
KEPALAN Charlie meninju meja. "Baiklah, Bella! Aku akan mengirimmu pulang."
Aku mendongak dari serealku, yang sejak tadi hanya kupandangi tanpa kumakan, dan menatap Charlie dengan shock. Aku tidak menyimak pembicaraan—sebenarnya, aku malah tidak sadar kami sedang berbicara—jadi aku tidak mengerti maksud perkataannya.
"Aku kan sudah di rumah," gumamku, bingung.
"Aku akan mengirimmu ke Renee, ke Jacksonville," Charlie menjelaskan maksudnya.
Charlie memandang putus asa saat aku lambat laun mencerna maksudnya.
"Apa salahku?" Kurasakan wajahku mengernyit.
Benar-benar tidak adil. Kelakuanku selama empat bulan terakhir ini benar-benar tak bercela. Setelah minggu pertama itu, yang tak pernah kami ungkitungkit lagi, aku tak pernah bolos sekolah atau kerja satu hari pun. Nilai-nilaiku sempurna.
Aku tak pernah melanggar jam malam—aku toh tak pernah ke mana-mana sehingga harus melanggar jam malam. Aku juga sangat jarang menghidangkan masakan sisa untuk makan malam. Charlie merengut.
"Kau tidak melakukan apa-apa. Justru itulah masalahnya. Kau tidak pernah melakukan apaapa."
“Dad mau aku bikin ulah?" Aku keheranan, alisku bertaut saking bingungnya.
Aku berusaha keras memerhatikan. Itu tidak mudah. Aku sudah sangat terbiasa mengabaikan semuanya sehingga seperanya telingaku berhenti berfungsi.
"Bikin ulah lebih baik daripada... daripada bermuram durja setiap saat seperti ini!” Perkataannya sedikit menyinggung perasaanku. Padahal aku sudah berhati-hati untuk menghindari segala bentuk kesedihan, termasuk bermuram durja.
"Aku tidak bermuram durja kok."
"Itu bukan kata yang tepat," Charlie menyimpulkan dengan enggan.
"Bermuram durja masih lebih baik—itu berarti melakukan sesuatu. Kau sekarang... tanpa kehidupan, Bella. Kurasa itulah istilah yang paling tepat." Tuduhan itu tepat mengenai sasaran.
Aku menghela napas dan berusaha memperdengarkan nada ceria.
“Maafkan aku, Dad." Permintaan maafku terdengar agak datar, bahkan di telingaku sendiri.
Kusangka selama ini aku berhasil menipunya. Menjaga agar Charlie tidak menderita adalah tujuan utama semua upayaku. Sungguh menyebalkan semua upayaku itu sia-sia belaka.
“Aku tidak ingin kau meminta maaf." Aku mendesah.
“Kalau begitu, katakan apa yang Dad ingin kulakukan."
“Bella,” Charlie ragu-ragu, dengan cermat menelaah reaksiku terhadap kata-katanya selanjutnya. "Sayang kau bukan orang pertama yang mengalami hal semacam ini, tahu."
"Aku tahu." Cengiran yang menyertai katakataku tadi lemah dan tak meyakinkan.
"Dengar, Sayang. Menurutku mungkin— mungkin kau butuh bantuan."
"Bantuan?"
Charlie diam sejenak, kembali mencari kata-kata yang tepat.
"Ketika ibumu pergi," ia memulai, keningnya berkerut,
"dan membawamu bersamanya." Charlie menghela napas dalamdalam.
"Well, itu masa-masa yang sangat berat bagiku."
"Aku tahu, Dad," gumamku.
"Tapi aku bisa mengatasinya," tegas Charlie.
"Sayang kau tidak mengatasinya. Aku menunggu, aku berharap keadaan jadi lebih baik" Ia memandangiku dan aku buru-buru menunduk.
"Kurasa kita sama-sama tahu keadaan ternyata belum membaik juga."
"Aku baik-baik saja kok."
Charlie tak menggubris sergahanku.
"Mungkin, Well, mungkin kalau kau bicara dengan orang lain tentang masalah ini. Seorang profesional."
"Dad mau aku berkonsultasi ke psikiater?" suaraku terdengar sedikit lebih tajam saat menyadari maksudnya.
"Mungkin itu bisa membantu."
"Dan mungkin itu sama sekali takkan membantu.”
Aku tidak begitu paham soal psikoanalisis, tapi aku sangat yakin itu tidak bakal efektif kecuali subjeknya relatif jujur. Tentu, aku bisa
mengatakan hal sebenarnya—kalau aku ingin menghabiskan sisa hidupku di sel untuk orang gila yang dindingnya dilapisi busa pengaman. Charlie mengaman ekspresiku yang keras kepala, dan beralih menggunakan senjata lain. "Ini di luar kemampuanku, Bella. Mungkin ibumu-"
"Dengar," sergahku datar.
"Aku akan keluar malam ini, kalau memang itu yang Dad inginkan. Aku akan menelepon Jess atau Angela."
"Bukan itu yang kuinginkan," bantah Charlie, frustrasi.
"Rasanya aku tak sanggup melihatmu berusaha lebih keras lagi. Belum pernah aku melihat orang berusaha sekeras itu. Sedih hariku melihatnya."
Aku pura-pura bodoh, menunduk memandangi meja. "Aku tidak mengerti, Dad. Pertama Dad marah karena aku tidak melakukan apa-apa, kemudian Dad bilang tidak ingin aku keluar."
"Aku ingin kau bahagia—tidak, bahkan tidak perlu sedrastis itu. Aku hanya ingin kau tidak merana lagi. Menurutku kesempatanmu untuk pulih akan lebih besar kalau kau pergi dari Forks," Mataku berkilat oleh percikan emosi pertama yang sudah sekian lama kupendam dalam hati.
"Aku tidak mau pindah," tolakku.
"Kenapa tidak?" tuntut Charlie.
"Sekarang semester terakhirku di sekolah— pindah hanya akan mengacaukan semuanya."
“Kau kan pintar—kau pasti bisa mengejar pelajaran."
"Aku tidak mau mengganggu Mom dan Phil."
“Ibumu sudah lama ingin kau tinggal bersamanya lagi." “Florida terlalu panas."
Kepalan tangan Charlie kembali menghantam meja. "Kita sama-sama tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini, Bella, dan itu tidak baik untukmu.” Ia menghela napas dalam-dalam.
"Ini sudah berlalu beberapa bulan. Tidak ada telepon, tidak ada surat, tidak ada kontak. Kau tidak bisa terus-terusan menunggunya."
Kutatap Charlie dengan garang. Kemarahan itu nyaris, meski tidak sampai, mencapai wajahku. Sudah lama sekali wajahku tak pernah lagi membara oleh emosi apa pun.
Topik ini benar-benar terlarang, seperti yang disadari benar oleh Charlie.
"Aku tidak menunggu apa-apa. Aku tidak mengharapkan apa-apa," bantahku dengan nada monoton yang rendah.
"Bella—" Charlie memulai, suaranya berat.
"Aku harus berangkat sekolah," selaku, berdiri dan merenggut sarapanku yang belum disentuh dari meja. Kujatuhkan mangkukku di bak cuci tanpa merasa perlu mencucinya dulu. Aku tak sanggup meneruskan pembicaraan lagi.
Novel Twilight – New Moon Bab 23 Telah Selesai
Bagaimana Novel Twilight - New Moon Bab 23 nya? Seru bukan? Jangan lupa untuk membaca kelanjutan kisahnya di bab-bab selanjutnya ya Novel Lovers.
Silahkan klik navigasi Babnya di bawah ini untuk pindah ke Bab berikutnya.
Dapatkan update Novel Terbaru pilihan dari kita dan sudah aku susun daftar lengkap novelnya ya free buat kalian yang suka baca. Mari bergabung di Grup Telegram "Novel Update", caranya klik link https://t.me/novelkupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Baca Juga Novel Lainnya Dibawah yang Pastinya Seru Juga :
- Novel Lelaki Yang Tak Terlihat Kaya
- Novel Romantis Pengantin Pengganti
- Novel Elena : Si Gadis Tangguh
- Novel Charlie Wade Si Kharismatik
- Novel Romantis My Lovely Boss
- Novel Perintah Kaisar Naga
- Novel My Imperfect CEO
- NOVEL KISAH ISTRI BAYARAN
- Novel Perceraian Ke-99

0 komentar: