Jumat, 28 Oktober 2022

Novel Twilight : NEW MOON Bab 12

Novel Twilight merupakan novel seri pertama dari novel karangan Stephenie Meyer. Stephen juga mengeluarkan seri lanjutan dari Novel Twilight ini yaitu seri Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn .

Dalam novel karya pertama dari Stephenie Meyer ini kalian akan menemukan adegan-adegan yang menguras emosi seperti adegan romantis, permusuhan, perang dan konspirasi. Ceritanya juga diangkat menjadi film layar lebar yang selalu ditunggu-tunggu setiap serinya oleh para penggemar.

Sekarang, kalian  membaca Novel Twilight Bab 12 ini secara gratis dalam website Great Novel. Semoga bisa memberi para pembaca sekalian hiburan 😊



Baca Selengkapnya Novel Twilight – New Moon Bab 12

"Memang," Carlisle sependapat.

"Yang terjadi malam ini adalah apa yang paling ditakutinya bakal terjadi. Membahayakanmu, karena keadaan kami yang seperti ini."

"Itu bukan salahnya."

"Bukan salahmu juga."

Aku mengalihkan tatapanku dan mata Carlisle yang indah dan bijak. Aku tidak sependapat dengannya.

Carlisle mengulurkan tangan dan membantuku berdiri. Kuikuti dia ke ruang utama. Esme sudah kembali; sedang mengepel lantai tempatku jatuh tadi—dengan cairan desinfektan murni tanpa campuran kalau menilik dari baunya.

"Esme, biar aku saja," Bisa kurasakan wajahku kembali merah padam.

"Aku sudah selesai." Esme mendongak dan tersenyum padaku.

"Bagaimana keadaanmu?"

"Baik-baik saja," aku meyakinkan dia.

"Carlisle menjahit lebih cepat daripada dokter lain yang pernah menanganiku." Mereka berdua tertawa.


Alice dan Edward muncul dari pintu belakang. Alice bergegas mendapatiku, tapi Edward berdiri agak jauh, ekspresinya sulit digambarkan.

"Ayolah," ajak Alice.

"Akan kucarikan sesuatu yang tidak begitu mengerikan untuk dipakai." Alice menemukan kemeja Esme yang warnanya mendekati warna bajuku tadi.

Charlie tak bakal memerhatikan, aku yakin. Perban putih panjang di lenganku tidak tampak terlalu serius setelah aku tak lagi memakai baju yang berlepotan bercak darah. Charlie toh tak pernah terkejut melihatku diperban.

“Alice," bisikku saat ia kembali berjalan menuju pintu.

"Ya?" Suara Alice tetap pelan, memandangiku dengan sikap ingin tahu, kepalanya ditelengkan ke satu sisi.

"Seberapa parah?" Aku tak yakin apakah berbisik-bisik begini ada gunanya.

Walaupun kami di lantai atas, dengan pintu tertutup, mungkin ia tetap bisa mendengarku. Wajah Alice menegang. "Aku belum bisa memastikan."

"Jasper bagaimana?"

Alice mendesah. "Dia sangat kesal pada dirinya sendiri. Itu memang lebih sulit baginya dibanding bagi yang lain, dan dia tidak suka merasa diri lemah."

"Itu bukan salahnya. Bisa tolong katakan padanya aku tidak marah, sama sekali tidak marah padanya, bisa, kan?"

"Tentu saja."

Edward menungguku di pintu depan. Begitu aku sampai di kaki tangga, ia membukakan pintu tanpa sepatah kata pun.


"Bawa barang-barangmu!" pekik Alice waktu aku berjalan waswas menghampiri Edward.

Ia meraup kedua bungkusan, yang satu baru separo terbuka, serta kameraku dari bawah piano, dan menjejalkan semuanya ke lekukan lenganku yang tidak terluka.

"Kau bisa mengucapkan terima kasih belakangan, kalau sudah membuka kado-kadomu!” Esme dan Carlisle mengucapkan selamat malam dengan suara pelan. Sempat kulihat mereka diam Tiraikasih diam melirik putra mereka yang diam seribu bahasa, sama seperti aku.

Lega rasanya berada di luar; aku bergegas melewati deretan lentera dan mawar yang kini mengingatkanku pada peristiwa tak mengenakkan tadi. Edward berjalan di sampingku tanpa bicara. Ia membukakan pintu penumpang untukku, dan aku naik tanpa protes.

Di atas dasbor terpasang pita merah besar, menempel di stereo yang baru. Kurenggut pita itu dan kubuang ke lantai. Waktu Edward naik di sampingku, kutendang pita itu ke bawah kursi.

 Edward tidak melihat ke arahku ataupun stereo itu. Kami juga tidak menyalakannya, dan entah bagaimana kesunyian justru semakin terasa oleh raungan mesin yang tiba-tiba. Edward ngebut terlalu kencang melintasi jalan yang gelap dan berkelok-kelok.

Kesunyian itu membuatku sinting.

“Katakan sesuatu," pintaku akhirnya saat Edward berbelok memasuki jalan raya.

"Kau ingin aku bilang apa?" tanyanya dengan sikap menjauh.

Aku meringis melihat sikapnya yang tak mau mendekat.

"Katakan kau memaafkan aku." Perkataanku itu menimbulkan secercah kehidupan di wajahnya—secercah amarah.

"Memaafkanmu? Untuk apa?"

"Seandainya aku lebih berhati-hati, tidak akan terjadi apa-apa.”

"Bella, jarimu hanya teriris kertas—itu bukan alasan untuk mendapat hukuman mati."

"Tetap saja aku yang salah."

Kata-kataku seolah membobol bendungan.


"Kau yang salah? Kalau jarimu teriris kertas di rumah Mike Newton, dan di sana ada Jessica, Angela, dan teman-teman normalmu lainnya, apa hal terburuk yang mungkin terjadi? Mungkin mereka tidak bisa menemukan plester untukmu? Kalau kau terpeleset dan menabrak tumpukan piring kaca karena ulahmu sendiri—bukan karena ada yang mendorongmu—bahkan saat itu pun, hal terburuk apa yang bisa terjadi? Paling-paling darahmu berceceran mengotori jok mobil saat mereka mengantarmu ke UGD? Mike Newton bisa memegangi tanganmu saat dokter menjahitmu— dan dia tidak perlu berjuang melawan dorongan untuk membunuhmu selama berada di sana. Jangan menyalahkan dirimu sendiri dalam hal ini, Bella. Itu hanya akan membuatku semakin jijik pada diriku sendiri."

"Bagaimana bisa Mike Newton dibawa-bawa dalam pembicaraan ini?" tuntutku.

"Mike Newton dibawa-bawa dalam pembicaraan ini karena akan jauh lebih aman kalau kau berpacaran saja dengan Mike Newton," geram Edward.

"Lebih baik mati daripada berpacaran dengan Mike Newton." protesku.

"Aku lebih baik mati daripada berpacaran dengan orang lain selain kau.”

"Jangan sok melodramatis, please"

"Kalau begitu, kau juga tidak usah ngomong yang bukan-bukan."

Edward tidak menjawab. Ia menatap garang ke luar kaca, ekspresinya kosong. Aku memeras otak, mencari cara untuk menyelamatkan malam ini. Tapi sampai truk berhenti di depan rumahku, aku masih belum menemukan caranya.

"Kau akan menginap malam ini?" tanyaku.

"Sebaiknya aku pulang."

Hal terakhir yang kuinginkan adalah Edward berkubang dalam perasaan bersalah.

"Untuk ulang tahunku," desakku.

"Tidak bisa dua-duanya—kau ingin orang mengabaikan hari ulang tahunmu atau tidak. Pilih salah satu," Nadanya kaku, tapi tidak seserius sebelumnya.

Diam-diam aku mengembuskan napas lega.

"Oke. Aku sudah memutuskan aku tidak mau kau mengabaikan hari ulang tahunku. Kutunggu kau di atas."

Aku melompat turun, meraih kado-kadoku. Edward mengerutkan kening.

"Kau tidak perlu membawanya."

“Aku menginginkannya," jawabku otomatis, kemudian bertanya-tanya dalam hati apakah Edward menggunakan teknik psikologi terbalik.

“Tidak, itu tidak benar. Carlisle dan Esme mengeluarkan uang untuk membeli kadomu."

Novel Twilight – New Moon Bab 12 Telah Selesai

Bagaimana Novel Twilight - New Moon Bab 12 nya? Seru bukan? Jangan lupa untuk membaca kelanjutan kisahnya di bab-bab selanjutnya ya Novel Lovers.

Silahkan klik navigasi Babnya di bawah ini untuk pindah ke Bab berikutnya.

Dapatkan update Novel Terbaru pilihan dari kita dan sudah aku susun daftar lengkap novelnya ya free buat kalian yang suka baca. Mari bergabung di Grup Telegram "Novel Update", caranya klik link https://t.me/novelkupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca Juga Novel Lainnya Dibawah yang Pastinya Seru Juga :

Bab Selanjutnya
Bab Sebelumnya

0 komentar: