Minggu, 23 Oktober 2022

Baca Selengkapnya Novel Twilight Pandangan Pertama Bab 120

Novel Twilight merupakan novel seri pertama dari novel karangan Stephenie Meyer. Stephen juga mengeluarkan seri lanjutan dari Novel Twilight ini yaitu seri Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn .

Dalam novel karya pertama dari Stephenie Meyer ini kalian akan menemukan adegan-adegan yang menguras emosi seperti adegan romantis, permusuhan, perang dan konspirasi. Ceritanya juga diangkat menjadi film layar lebar yang selalu ditunggu-tunggu setiap serinya oleh para penggemar.

Sekarang, kalian  membaca Novel Twilight Bab 120 ini secara gratis dalam website Great Novel. Semoga bisa memberi para pembaca sekalian hiburan 😊



Baca Selengkapnya Novel Twilight – Pandangan Pertama Bab 120

Ia tidak mengatakan apa-apa; ia memerhatikan wajahku dengan saksama ketika rasa sakit yang tak ada hubungannya dengan tulang-tulang yang patah, rasa sakit yang jauh lebih parah, mengancam menghancurkanku. Kemudian perawat lain melangkah pasti memasuki ruangan. Edward duduk tak bergerak saat perawat mengamati ekspresiku dengan pandangan terlatih, sebelum beralih ke monitor.

“Waktunya untuk obat penghilang sakit. Sayang?” tanyanya ramah, sambil menepuk-nepuk kantong infus.

“Tidak, tidak,” gumamku, berusaha menghilangkan kepedihan dari suaraku.

“Aku tidak membutuhkan apaapa.” Aku tak bisa memejamkan mata sekarang.

“Tak perlu berpura-pura berani. Sayang. Sebaiknya kau tidak terlalu tegang; kau perlu beristirahat.” Ia menunggu, tapi aku hanya menggeleng.

“Baiklah,” ia mendesah.

“Tekan saja tombol bantuan kalau kau sudah siap.”

Ia memandang Edward serius, dan sekali lagi melirik, waswas mesin-mesin itu, lalu pergi.

“Sssstt, Bella, tenanglah.”

“Jangan tinggalkan aku.” Aku memohon, suaraku parau

“Aku takkan meninggalkanmu,” ia berjanji.

“Sekarang tenanglah sebelum aku memanggil perawat untuk memberimu obat penenang.” Tapi jantungku tak mau tenang.

“Bella.” Ia membelai wajahku hati-hati.

“Aku takkan ke mana-mana. Aku akan ada di sini selama kau membutuhkanku.”

“Kau bersumpah takkan meninggalkanku?” bisikku. Setidaknya aku mencoba mengendalikan napasku yang tersengal-sengal. Rusukku nyeri.

Ia meletakkan tangannya di kedua sisi wajahku dan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Matanya lebar dan serius.

“Aku bersumpah.”


Aroma napasnya menenangkan. Sepertinya meringankan rasa nyeri yang muncul ketika aku bernapas. Ia terus menatapku sementara tubuhku pelan-pelan rileks dan suara bip mesin kembali normal. Matanya berwarna gelap, lebih mendekati hitam daripada keemasan.

“Lebih baik?” tanyanya.

“Ya,” sahutku hati-hati.

Ia menggeleng dan menggumamkan sesuatu yang tak kumengerti. Kurasa aku memilih kata

“overreaction – bereaksi berlebihan.”

“Mengapa kau bilang begitu?” aku berbisik, menjaga suaraku agar tidak gemetaran.

“Apakah kau lelah menyelamatkanku setiap saat? Kau ingin aku pergi?”

“Tidak, aku tak ingin tanpa dirimu. Bella, tentu saja tidak. Yang benar saja. Dan aku juga senang-senang saja menyelamatkanmu—jika saja bukan karena fakta bahwa akulah yang justru menempatkanmu dalam bahaya... bahwa akulah alasan kau berada di sini.”

“Ya, kaulah penyebabnya.” Aku merengut. “Alasan aku berada di sini—hidup-hidup.”

“Nyaris,” ia berbisik. “Dibalut perban dan plester dan nyaris tak bisa bergerak.”

“Maksudku bukan pengalaman nyaris mati yang baru saja kualami ini,” kataku, mulai jengkel.

“Aku sedang memikirkan yang lain—kau boleh pilih. Kalau bukan karena kau, aku sudah membusuk di pemakaman Forks.” Ia meringis mendengar kata-kataku, tapi raut khawatir tak enyah juga dari wajahnya.

“Meski begitu, itu bukan yang terburuk,” ia melanjutkan berbisik, seolah-olah aku tak pernah mengatakan apa-apa.

“Yang terburuk bukanlah saat melihatmu di sana, terbaring di lantai... meringkuk dan terluka.” Suaranya tercekat.


“Yang terburuk bukanlah berpikir bahwa aku terlambat. Bahkan bukan mendengarmu menjerit kesakitan—semua ingatan mengerikan itu akan kubawa bersamaku sepanjang masa. Bukan, yang paling parah adalah merasa... mengetahui bahwa aku tak bisa berhenti. Percaya aku sendirilah yang akan membunuhmu.”

“Tapi kau tidak membunuhku.”

“Aku bisa saja. Semudah itu.”

Aku tahu aku harus tetap tenang... tapi ia mencoba membujuk dirinya sendiri untuk meninggalkanku, dan rasa panik mencekat paru-paruku, mencoba melepaskan diri.

“Berjanjilah padaku.” Aku berbisik.

“Apa?”

“Kau tahu maksudku.” Aku mulai marah sekarang. Ia benar-benar bersikeras untuk terus berpikir negatif.

Ia mendengar perubahan pada nada suaraku. Tatapannya tajam.

“Sepertinya aku tak cukup kuat untuk berada jauh darimu, Jadi kurasa kau akan menemukan caranya... entah itu akan membunuhmu atau tidak.” Ia menambahkan dengan kasar.

“Bagus.” Meski begitu ia tidak berjanji—fakta itu tak terlewatkan olehku.

Kepanikanku nyaris tak terbendung; tak ada lagi kekuatan yang tersisa dalam diriku untuk mengendalikan amarahku.

“Kau memberitahuku bagaimana kau berhenti... sekarang aku mau tahu kenapa,” desakku.

“Kenapa?” ulangnya hati-hati.

“Kenapa kau melakukannya. Kenapa kau tak membiarkan racunnya menyebar? Saat ini aku akan sama seperti dirimu.”

Mata Edward sepertinya berubah hitam, dingin, dan aku ingat, ia tak ingin aku mengetahui hal seperti ini.

Alice pasti terlalu disibukkan oleh hal-hal tentang dirinya yang baru diketahuinya... atau ia sangat berhati-hati dengan pikirannya ketika berada di sekitar Edward—jelas Edward tidak tahu Alice telah memberitahuku tentang penciptaan vampir.

Ia terkejut, marah. Lubang hidungnya kembangkempis, mulutnya seolah dipahat dan batu. Ia tidak akan menjawab, itu sangat jelas.


“Aku akan menjadi yang pertama mengakui bahwa aku tak berpengalaman menjalin hubungan,” kataku. “Tapi kelihatannya masuk akal... seorang laki-laki dan perempuan seharusnya sederajat... salah satu dari mereka tak bisa selalu menghambur dan menyelamatkan yang lain. Mereka harus saling menyelamatkan satu sama lain.”

Ia melipat tangan dan meletakkannya di sisi tempat tidurku, lalu meletakkan dagunya di sana. Raut wajahnya lembut, kemarahannya mereda.

Sepertinya ia telah memutuskan ia tidak marah padaku. Kuharap aku punya kesempatan untuk mengingatkan Alice sebelum Edward menemuinya.

“Kau telah menyelamatkanku,” katanya pelan.

“Aku tidak bisa selalu menjadi Lois Lane,” aku berkeras.

“Aku juga ingin jadi Superman.”

“Kau tidak tahu apa yang kauminta.” Suaranya lembut; ia menatap lekat-lekat ujung sarung bantal.

“Kurasa aku tahu.”

“Bella, kau tidak tahu. Aku telah melewati hampir sembilan puluh tahun memikirkan hal ini, dan aku masih tidak yakin.”

“Apa kau berharap Carlisle tidak menyelamatkanmu?”

“Tidak, aku tidak berharap begitu.” Ia berhenti sebelum melanjutkan,

“Tapi hidupku sudah berakhir. Aku tidak menyerahkan apa pun.”

“Kaulah hidupku. Hanya kehilangan dirimu yang bisa menyakitiku.” Aku semakin baik dalam hal ini. Mudah rasanya mengakui betapa aku membutuhkannya.

 

Novel Twilight – Pandangan Pertama Bab 120 Telah Selesai

Bagaimana Novel Twilight - Pandangan Pertama Bab 120 nya? Seru bukan? Jangan lupa untuk membaca kelanjutan kisahnya di bab-bab selanjutnya ya Novel Lovers.

Silahkan klik navigasi Babnya di bawah ini untuk pindah ke Bab berikutnya.

Dapatkan update Novel Terbaru pilihan dari kita dan sudah aku susun daftar lengkap novelnya ya free buat kalian yang suka baca. Mari bergabung di Grup Telegram "Novel Update", caranya klik link https://t.me/novelkupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca Juga Novel Lainnya Dibawah yang Pastinya Seru Juga :

Bab Selanjutnya
Bab Sebelumnya

0 komentar: