Minggu, 23 Oktober 2022

Baca Selengkapnya Novel Twilight Pandangan Pertama Bab 118

Novel Twilight merupakan novel seri pertama dari novel karangan Stephenie Meyer. Stephen juga mengeluarkan seri lanjutan dari Novel Twilight ini yaitu seri Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn .

Dalam novel karya pertama dari Stephenie Meyer ini kalian akan menemukan adegan-adegan yang menguras emosi seperti adegan romantis, permusuhan, perang dan konspirasi. Ceritanya juga diangkat menjadi film layar lebar yang selalu ditunggu-tunggu setiap serinya oleh para penggemar.

Sekarang, kalian  membaca Novel Twilight Bab 118 ini secara gratis dalam website Great Novel. Semoga bisa memberi para pembaca sekalian hiburan 😊



Baca Selengkapnya Novel Twilight – Pandangan Pertama Bab 118

“Kenapa kau ada di sini?” aku bertanya.

Ia menatapku, pertama bingung, kemudian kepedihan terpancar di matanya. Alisnya bertaut saat wajahnya menekuk.

“Kau ingin aku pergi?”

“Tidak!” protesku, ngeri membayangkannya.

“Bukan, maksudku, kenapa ibuku pikir kau ada di sini? Aku harus tahu apa yang harus kuceritakan saat dia kembali.”

“Oh,” kata Edward, dahinya kembali mulus bak pualam.

“Aku datang ke Phoenix untuk berbicara dari hati ke hati. Untuk meyakinkanmu agar kembali ke Forks.” Matanya yang lebar tampak jujur dan tulus, hingga aku sendiri nyaris memercayainya.

“Kau setuju menemuiku, dan kau mengemudi ke hotel tempatku menginap bersama Carlisle dan Alice— tentu saja aku ke sini dengan ditemani orangtua,” ia menambahkannya lugu,

“tapi kau terpeleset ketika sedang naik tangga menuju kamarku dan... well, kau tahu kelanjutannya. Tapi kau tak perlu mengingat detailnya; kau punya alasan bagus untuk tidak mengingatnya dengan jelas.”

Aku memikirkannya beberapa saat.


“Ada beberapa kekurangan dalam cerita itu. Tak ada jendela yang pecah, misalnya.

“Tidak juga,” katanya.

“Alice terlalu banyak bersenangsenang ketika menciptakan barang bukti. Semua telah diatasi, kami membuatnya sangat meyakinkan—barangkali kau bisa menuntut hotelnya kalau mau. Kau tak perlu mengkhawatirkan apa pun.” Ia berjanji, mengusap pipiku dengan sentuhan paling ringan.

“Sekarang tugasmu hanya sembuh.”

Aku tidak terlaju tenggelam dalam rasa sakit atau pengaruh obat hingga tak bereaksi terhadap sentuhannya. Suara bip di monitor langsung bergerak tak terkendali— sekarang bukan ia satu-satunya yang bisa mendengar irama jantungku yang mendadak liar.

“Ini bakal memalukan,” gumamku pada diri sendiri.

Ia tertawa, dan tatapannya mengira-ngira. “Hmmm, aku jadi penasaran...”

Ia mencondongkan tubuh perlahan; suara bip semakin cepat bahkan sebelum bibirnya menyentuh bibirku. Tapi ketika akhirnya bibir kami bersentuhan, meskipun teramat lembut, bunyi bip itu mendadak berhenti.

Ia langsung tersentak, ekspresi waswasnya berubah lega saat monitor menunjukkan jantungku berdetak lagi.

“Sepertinya aku harus lebih berhati-hati lagi denganmu daripada biasanya.” Dahinya berkerut.

“Aku belum selesai menciummu,” aku mengeluh.

“Jangan buat aku pergi menghampirimu.”


Ia tersenyum, dan membungkuk untuk mencium lembut bibirku. Monitor langsung bergerak kacau lagi.

Tapi kemudian bibirnya menegang. Ia menarik diri.

“Kurasa aku mendengar ibumu,” katanya, tersenyum.

“Jangan tinggalkan aku,” aku berseru, rasa panik yang tak masuk akal merasukiku.

Aku tak bisa membiarkannya pergi—ia mungkin akan menghilang dariku lagi. Sekejap ia melihat ketakutan di mataku.

“Aku takkan meninggalkanmu,” ia berjanji, sungguh-sungguh, kemudian tersenyum.

“Aku akan tidur siang.”

Ia pindah dari kursi plastik keras di sampingku ke sofa recliner dari kulit sintetis warna turquoise di ujung tempat tidur, lalu berbaring dan memejamkan mata. Posisinya diam tak bergerak.

“Jangan lupa bernapas,” bisikku sinis. Ia menarik napas panjang, matanya masih terpejam.

Aku bisa mendengar ibuku sekarang. Ia sedang berbicara dengan seseorang barangkali perawat, dan ia terdengar lelah dan sedih.

Ingin rasanya aku melompat dari tempat tidur dan berlari padanya, untuk menenangkannya, meyakinkan semuanya baik-baik saja. Tapi keadaanku tak memungkinkan aku melompat, jadi aku menunggunya dengan tidak sabar.

Terdengar suara pintu berderit, dan ia mengintip dari sana.

“Mom!” aku berbisik, suaraku penuh sayang dan lega. Ia melihat Edward yang tertidur di sofa recliner dan berjingkat menghampiriku.

“Dia tak pernah pergi, ya kan?” gumamnya pada diri sendiri.

“Mom, aku senang sekali bertemu denganmu!” Ia membungkuk dan memelukku lembut, dan aku merasakan air mata hangat menetes di pipiku.

“Bella, aku sedih sekali!”

“Maafkan aku, Mom. Tapi sekarang semua baik-baik saja, tidak apa-apa,” aku mencoba menenangkannya.

“Aku senang akhirnya kau tersadar.” Ia duduk di tepi tempat tidur.


Aku tiba-tiba menyadari aku tak tahu ini hari apa.

“Berapa lama aku tak sadarkan diri?”

“Sekarang hari Jumat. Sayang, kau tak sadar cukup lama.”

“Jumat?” Aku terkejut. Aku mencoba mengingat hari ketika...

tapi aku tak ingin memikirkannya.

“Mereka harus terus memberimu obat penenang untuk sementara waktu, Sayang—luka-lukamu parah sekali.”

“Aku tahu.” Aku bisa merasakannya.

“Kau beruntung dr. Cullen ada di sana. Dia baik, meskipun masih sangat muda. Dan dia lebih mirip model daripada dokter...”

“Kau bertemu Carlisle?”

“Dan adik Edward, Alice. Dia gadis menyenangkan.”

“Memang,” aku menimpali sepenuh hati. Ia menoleh ke arah Edward, yang berbaring di kursi dengan mata terpejam.

“Kau tidak bilang punya temanteman yang baik di Forks.”

Aku tersenyum, kemudian mengerang.

“Apa yang sakit?” Mom bertanya waswas, kembali menghadapku.

Mata Edward berkilat menatapku.

“Tidak apa-apa,” aku meyakinkan mereka.

“Aku hanya perlu mengingat untuk tidak bergerak.” Edward kembali pura-pura tidur.

Aku mengambil kesempatan untuk mengalihkan topik.

“Di mana Phil?” tanyaku cepat.

“Di Florida—oh, Bella! Kau takkan menyangka! Tepat sebelum berangkat, kami mendapat berita terbaik!” “Phil mendapatkan kontrak?” aku menebaknya.

“Ya! Bagaimana kau tahu? The Suns, kau percaya?” “Itu hebat, Mom,” kataku, berusaha terdengar bersemangat, meskipun aku tidak begitu mengerti apa artinya itu.

“Dan kau akan sangat menyukai Jacksonville,” Mom sibuk meracau sementara aku hanya terpaku menatapnya.

“Aku sedikit khawatir saat Phil mulai membicarakan Akron, salju dan semuanya, karena kau tahu betapa aku sangat membenci dingin, tapi sekarang Jacksonville! Matahari selalu bersinar, dan kelembabannya tak seburuk itu. Kami menemukan rumah yang paling menggemaskan, warna kuning dengan bingkai putih, dan teras persis seperti di film-film tua, dan pohon ek raksasa, dan jaraknya hanya beberapa menit dari laut, dan kau akan memiliki kamar mandimu sendiri—“

“Mom, tunggu sebentar!” selaku. Mata Edward masih terpejam, tapi ia kelihatan terlalu tegang untuk bisa dibilang tidur.

“Apa yang kaubicarakan? Aku takkan pergi ke Florida. Aku tinggal di Forks.”

Novel Twilight – Pandangan Pertama Bab 118 Telah Selesai

Bagaimana Novel Twilight - Pandangan Pertama Bab 118 nya? Seru bukan? Jangan lupa untuk membaca kelanjutan kisahnya di bab-bab selanjutnya ya Novel Lovers.

Silahkan klik navigasi Babnya di bawah ini untuk pindah ke Bab berikutnya.

Dapatkan update Novel Terbaru pilihan dari kita dan sudah aku susun daftar lengkap novelnya ya free buat kalian yang suka baca. Mari bergabung di Grup Telegram "Novel Update", caranya klik link https://t.me/novelkupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca Juga Novel Lainnya Dibawah yang Pastinya Seru Juga :

Bab Selanjutnya
Bab Sebelumnya

0 komentar: