Novel Twilight merupakan novel seri pertama dari novel karangan Stephenie Meyer. Stephen juga mengeluarkan seri lanjutan dari Novel Twilight ini yaitu seri Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn .
Dalam novel karya pertama dari Stephenie Meyer ini kalian akan menemukan adegan-adegan yang menguras emosi seperti adegan romantis, permusuhan, perang dan konspirasi. Ceritanya juga diangkat menjadi film layar lebar yang selalu ditunggu-tunggu setiap serinya oleh para penggemar.
Sekarang, kalian membaca Novel Twilight Bab 115 ini secara gratis dalam website Great Novel. Semoga bisa memberi para pembaca sekalian hiburan 😊
Baca Selengkapnya Novel Twilight – Pandangan Pertama Bab 115
“Kau tahu, vampir yang begitu tololnya untuk jatuh cinta pada korban kecilnya ini mengambil keputusan yang tak sanggup diambil oleh Edward-mu yang lemah itu. Ketika vampir tua itu tahu aku mengincar teman kecilnya, dia menculik gadis itu dari rumah sakit jiwa tempatnya bekerja—aku takkan pernah mengerti obsesi yang dimiliki beberapa vampir terhadap kalian manusia—dan begitu vampir tua itu membebaskannya, dia membuat gadis itu aman. Gadis itu sepertinya bahkan tidak merasakan sakitnya, makhluk kecil malang.
Dia telah terperangkap di lubang hitam itu terlalu lama. Ratusan tahun sebelumnya dia bisa saja dibakar karena penglihatannya. Pada tahun 1920-an, hukumannya adalah rumah sakit jiwa dan terapi syok. Ketika gadis itu membuka mata, kemudaannya yang baru membuatnya kuat, seolah-olah dia belum pernah melihat matahari. Si vampir tua menjadikannya vampir baru yang kuat, dan tak ada alasan lagi bagiku untuk menyentuhnya.” Ia mendesah.
“Sebagai balas dendam, aku menghancurkan si vampir tua.”
“Alice,” desahku, terkejut.
“Ya, teman kecilmu. Aku terkejut melihatnya di lapangan itu. Jadi kurasa pengalaman ini tidak buruk-buruk amat bagi kelompoknya. Aku mendapatkanmu, tapi mereka mendapatkannya. Satu-satunya korban yang berhasil kabur dariku. Suatu kehormatan, sebenarnya.
“Dan aromanya memang sangat lezat, aku masih menyesal tak sempat mencicipinya... Aromanya bahkan lebih lezat daripada kau. Maaf – aku tak bermaksud menyinggungmu. Aroma tubuhmu sangat menyenangkan. Bunga-bungaan, bagaimanapun...”
Ia maju selangkah lagi, sampai jaraknya tinggal beberapa senti. Ia mengangkat beberapa helai rambutku dan mengendusnya dengan lembut. Lalu perlahan-lahan ia mengembalikannya lagi di tempat semula, dan aku merasakan ujung jarinya yang dingin di leherku.
Ia mengangkat tangannya dan mengelu pipiku sekilas dengan ibu jarinya, wajahnya penasaran Aku ingin sekali menjauhkan diri darinya, tapi tubuhku membeku Aku bahkan tak bisa beringsut.
“Tidak,” gumamnya pada diri sendiri, lalu menjatuhkan tangannya,
“aku tak mengerti.” Ia mendesah.
“Well, kurasa kita selesaikan saja sekarang. Kemudian aku bisa menelepon teman-temanmu dan memberitahu mereka di mana bisa menemukanmu, dan pesan kecilku.” Aku benar-benar mual sekarang.
Ada rasa sakit yang mendekat, dan aku bisa melihat di matanya. Ia tidak akan puas hanya dengan menang memangsaku, lalu pergi. Takkan berakhir cepat seperti yang kuharapkan. Lututku gemetaran, dan aku khawatir bakal jatuh.
Ia melangkah mundur dan mulai mengelilingiku, dengan wajar, seakan-akan mencari sudut pandang yang lebih baik dari patung di museum.
Wajahnya masih ramah dan terbuka saat memutuskan dari mana harus memulai. Kemudian ia mencondongkan tubuh, dan senyumnya yang menawan perlahan melebar, semakin lebar, hingga tidak menyerupai senyuman sama sekali melainkan deretan gigi, terpapar jelas dan berkilauan.
Aku tak dapat menahan diri—aku mencoba lari. Sama sia-sianya seperti yang kuperkirakan, selemah lututku saat itu. Kepanikan menguasaiku dan aku melesat ke pintu darurat.
Dalam sekejap ia sudah di depanku. Aku tidak melihat apakah ia menggunakan tangan atau kakinya, terlalu cepat. Entakan keras menghantam dadaku—tubuhku melayang ke belakang dan aku mendengar suara pecahan saat kepalaku menghantam cermin. Kacanya hancur berantakan, serpihan-serpihannya berserakan dan bertebaran di lantai di sampingku.
Aku kelewat terkejut untuk bisa merasakan sakit. Aku tak bisa bernapas, perlahan-lahan ia menghampiriku.
“Itu efek yang sangat menyenangkan,” katanya, mengamati kaca-kaca yang berserakan, suaranya kembali ramah.
“Kupikir ruangan ini cukup dramatis untuk film sederhanaku. Itu sebabnya aku memilih tempat ini untuk berjumpa denganmu. Sempurna, ya kan?” Aku mengabaikannya, dengan tangan dan lutut aku merangkak ke pintu lain.
Ia langsung menghadangku, kakinya menginjak kakiku.
Aku mendengar suara keretak itu sebelum merasakannya. Tapi kemudian aku merasakannya, dan aku tak dapat menahan jerit kesakitanku. Aku berbalik untuk meraih kakiku, dan ia berdiri menjulang di atasku, tersenyum.
“Apakah kau mau memikirkan kembali permintaan terakhirmu?” tanyanya ramah.
Ibu jari kakinya menekan kakiku yang patah dan aku mendengar lengkingan kesakitan. Aku terkejut menyadari akulah yang menjerit itu.
“Tidakkah kau lebih ingin Edward berusaha mencariku?” ujarnya.
“Tidak!” seruku parau.
“Tidak, jangan Edward –“ Lalu sesuatu menghantam wajahku, melemparkanku kembali ke cermin yang sudah pecah.
Selain sakit di kakiku, aku merasakan robekan tajam di kulit kepalaku, di tempat pecahan kaca itu menusukku. Cairan hangat mengalir deras di antara helai rambutku. Aku bisa merasakannya membasahi bagian bahu kausku, mendengarnya menetes-netes di lantai kayu di bawahku.
Aromanya membuatku mual.
Dalam keadaan pusing dan mual aku melihat sesuatu yang tiba-tiba memberiku secercah harapan terakhir. Matanya, yang sebelumnya penuh tekad, kini membara dengan hasrat tak terkendali.
Darah yang mengalir – meninggalkan noda kemerahan di kaus putihku, dengan cepat menggenang di lantai – membuatnya sinting karena dahaga. Terlepas dari tujuan awalnya, ia tak dapat menahan diri lebih lama.
Biarlah segera berlalu sekarang hanya itu yang bisa kuharapkan saat aliran darah dari kepalaku mulai membuatku tak sadarkan diri. Mataku memejam.
Aku mendengar, seolah dari kedalaman air, raungan terakhir si pemburu. Aku bisa melihat, lewat lorong panjang yang terbentuk di mataku, sosok gelapnya menghampiriku. Dengan kekuatan terakhir, tanganku terangkat menutup wajah. Mataku terpejam dan aku pun tak sadarkan diri.
Novel Twilight – Pandangan Pertama Bab 115 Telah Selesai
Bagaimana Novel Twilight - Pandangan Pertama Bab 115 nya? Seru bukan? Jangan lupa untuk membaca kelanjutan kisahnya di bab-bab selanjutnya ya Novel Lovers.
Silahkan klik navigasi Babnya di bawah ini untuk pindah ke Bab berikutnya.
Dapatkan update Novel Terbaru pilihan dari kita dan sudah aku susun daftar lengkap novelnya ya free buat kalian yang suka baca. Mari bergabung di Grup Telegram "Novel Update", caranya klik link https://t.me/novelkupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Baca Juga Novel Lainnya Dibawah yang Pastinya Seru Juga :
- Novel Lelaki Yang Tak Terlihat Kaya
- Novel Romantis Pengantin Pengganti
- Novel Elena : Si Gadis Tangguh
- Novel Charlie Wade Si Kharismatik
- Novel Romantis My Lovely Boss
- Novel Perintah Kaisar Naga
- Novel My Imperfect CEO
- NOVEL KISAH ISTRI BAYARAN
- Novel Perceraian Ke-99

0 komentar: