Rabu, 19 Oktober 2022

Baca Selengkapnya Novel Twilight Pandangan Pertama Bab 20

Novel Twilight merupakan novel seri pertama dari novel karangan Stephenie Meyer. Stephen juga mengeluarkan seri lanjutan dari Novel Twilight ini yaitu seri Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn .

Dalam novel karya pertama dari Stephenie Meyer ini kalian akan menemukan adegan-adegan yang menguras emosi seperti adegan romantis, permusuhan, perang dan konspirasi. Ceritanya juga diangkat menjadi film layar lebar yang selalu ditunggu-tunggu setiap serinya oleh para penggemar.

Sekarang, kalian  membaca Novel Twilight Bab 20 ini secara gratis dalam website Great Novel. Semoga bisa memberi para pembaca sekalian hiburan 😊



Baca Selengkapnya Novel Twilight – Pandangan Pertama Bab 20

5. GOLONGAN DARAH

AKU berjalan menuju kelas bahasa Inggris dengan setengah melamun. Aku bahkan tidak menyadari ketika aku sampai, pelajaran sudah dimulai.

"Terima kasih sudah datang, Miss Swan," sindir Mr.

Mason.

Wajahku merah padam dan aku bergegas ke tempat dudukku.

Ketika pelajaran berakhir, barulah aku menyadari Mike tidak duduk di sebelahku seperti biasa. Aku merasakan cubitan rasa bersalah. Tapi ia dan Eric menungguku di pintu seperti biasa, jadi aku menyimpulkan mereka sudah sedikit memaafkanku.

Mike sudah lebih cerewet ketika kami berjalan, dan semakin bersemangat ketika membicarakan prakiraan cuaca untuk akhir pekan ini. Hujan diperkirakan akan berhenti sebentar, dan itu berarti berita baik untuk rencananya jalan-jalan ke pantai.

Aku berusaha terdengar bersemangat, sebagai ganti karena telah membuatnya kecewa kemarin. Tetap saja hujan atau tidak hujan, suhunya paling-paling sekitar 4ºC kalau kami beruntung.

Sisa pagi itu berlangsung samar-samar. Sulit dipercaya bahwa aku tidak hanya mengkhayalkan perkataan Edward, dan sorot matanya. Barangkali itu hanya mimpi yang sangat nyata hingga sulit membedakannya dengan kenyataan sebenarnya.

Kelihatannya itu lebih mungkin. Jadi aku merasa tidak sabar dan sekaligus ngeri ketika Jessica dan aku memasuki kafetaria. Aku ingin melihat wajahnya, aku ingin tahu apakah ia telah berubah dingin dan tidak peduli lagi, seperti yang kulihat beberapa minggu terakhir ini. Atau barangkali, berkat sebuah keajaiban, aku benar-benar mendengar yang kudengar tadi pagi.

 Jessica terus berceloteh tentang rencananya di pesta dansa—Lauren dan Angela sudah mengajak Eric dan Tyler dan mereka akan pergi bersama-sama. Ia benar-benar tidak menyadari sikapku yang tak menyimak.

Kekecewaan menyergapku ketika pandanganku tertuju ke mejanya. Keempat saudaranya ada di sana, tapi ia tidak ada.

Apakah ia pulang?

Aku antre di belakang Jessica yang masih terus mencerocos. Hatiku hancur. Selera makan siangku lenyap—aku hanya membeli sebotol limun. Aku cuma ingin duduk dan mengasihani diriku.

"Edward Cullen sedang memandangimu lagi," kata Jessica, akhirnya membuyarkan lamunanku.

"Aku kepingin tahu kenapa ya dia duduk sendirian hari ini." Kuangkat kepalaku cepat-cepat.

Aku mengikuti tatapan Jessica dan menemukan Edward, tersenyum lebar, menatapku dari meja kosong di seberang kafetaria tepat dari tempat ia biasanya duduk. Begitu kami beradu pandang, ia mengangkat tangan dan menggerakkan telunjuknya padaku, mengajaki bergabung dengannya. Ketika aku menatapnya tidak percaya, ia mengedipkan mata.

"Apakah maksudnya kau?" Jessica bertanya, suaranya terkejut.

"Mungkin dia butuh bantuan untuk mengerjakan PR Biologi." gumamku menenangkannya. "Mmm, sebaiknya aku cari tahu apa yang diinginkannya."

Aku merasakan tatapan Jessica ketika pergi menghampiri Edward.

Setibanya di meja cowok itu, aku berdiri di belakang

kursi di seberangnya, ragu-ragu.

"Duduklah bersamaku hari ini," pintanya sambil tersenyum.

Aku duduk, hati-hati mengawasinya. Ia masih tersenyum. Sulit dipercaya seseorang setampan ini begitu nyata. Aku khawatir ia bisa menghilang tiba-tiba di balik asap, lalu aku terbangun dari mimpi.

Ia sepertinya menungguku mengatakan sesuatu.

"Ini tidak seperti biasanya," akhirnya aku berkata.

"Well." ia berhenti, lalu sisanya terurai begitu saja. "Kuputuskan mengingat aku toh bakal pergi ke neraka, lebih baik kulakukan saja semuanya sekalian." Aku menunggu ia mengatakan sesuatu yang masuk akal.

Waktu pun berlalu.

"Tahu nggak, aku sama sekali tidak mengerti apa maksudmu," akhirnya aku mengaku.

"Aku tahu." Ia tersenyum lagi. lalu mengubah topik. "Kurasa teman-temanmu marah padaku karena telah menculikmu."

"Mereka akan baik-baik saja." Bisa kurasakan mereka mulai bosan menatapku.

"Aku mungkin saja takkan mengembalikanmu," katanya sambil mengedip jail.

Aku menelan ludah.

Ia tertawa. "Kau tampak khawatir."

"Tidak," kataku, tapi konyolnya suaraku gemetar. "Sebenarnya aku terkejut... apa yang menyebabkan ini semua?"

"Sudah kubuang—aku capek berusaha menjauh darimu. Jadi aku menyerah." Ia masih tersenyum, tapi matanya yang kekuningan tampak serius.

"Menyerah?" ulangku bingung.

"Ya—menyerah berusaha bersikap baik. Sekarang aku hanya akan melakukan apa yang kuinginkan, dan membiarkan semuanya terjadi sebagaimana mestinya." Senyumnya memudar ketika ia menjelaskan, dan suaranya terdengar serius.

"Lagi-lagi kau membuatku bingung." Senyum menawan itu muncul lagi.

"Aku selalu berkata terlalu banyak kalau bicara denganmu—itu salah satu masalahnya."

"Jangan khawatir—aku tak mengerti satu pun ucapanmu," sindirku.

"Aku mengandalkan itu."

"Jadi, terus terang, apakah sekarang kita berteman?" "Teman...," sahutnya menerawang, ragu-ragu.

"Atau tidak," gumamku.

Ia nyengir. "Well, kurasa kita bisa mencobanya. Tapi kuperingatkan kau, aku bukan teman yang baik untukmu." Di balik senyumnya peringatan itu tampak sangat nyata.

"Kau sering bilang begitu," aku mengingatkannya, berusaha mengabaikan perutku yang tiba-tiba bergejolak, dan menjaga suaraku tetap tenang.

"Ya, karena kau tidak mendengarkan. Aku masih menunggu memercayainya. Kalau pintar, kau akan menghindariku."

"Kurasa penilaianmu atas intelektualitasku cukup jelas." Mataku menyipit.

Ia tersenyum menyesal.

"Jadi, selama aku adalah... orang yang tidak pintar, kita akan mencoba berteman?" aku berjuang menyimpulkan pembicaraan yang membingungkan ini.

"Kedengarannya masuk akal."

Aku menunduk memandang tanganku yang memegangi botol limun, tak yakin apa yang harus kulakukan.

"Apa yang kaupikirkan?" tanyanya penasaran. Aku memandang matanya yang keemasan, bingung dan seperti biasa mengatakan yang sejujurnya.

"Aku mencoba menebak siapa sebenarnya kau ini." Rahangnya menegang, tapi ia tetap berusaha tersenyum.

"Apa kau berhasil?" ia bertanya dengan nada tak acuh.

"Tidak terlalu," akuku.

Ia tertawa. "Apa teorimu?"

Novel Twilight – Pandangan Pertama Bab 20 Telah Selesai

Bagaimana Novel Twilight - Pandangan Pertama Bab 20 nya? Seru bukan? Jangan lupa untuk membaca kelanjutan kisahnya di bab-bab selanjutnya ya Novel Lovers.

Silahkan klik navigasi Babnya di bawah ini untuk pindah ke Bab berikutnya.

Dapatkan update Novel Terbaru pilihan dari kita dan sudah aku susun daftar lengkap novelnya ya free buat kalian yang suka baca. Mari bergabung di Grup Telegram "Novel Update", caranya klik link https://t.me/novelkupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca Juga Novel Lainnya Dibawah yang Pastinya Seru Juga :

Bab Selanjutnya
Bab Sebelumnya

0 komentar: