Jumat, 21 Oktober 2022

Baca Selengkapnya Novel Twilight Pandangan Pertama Bab 100

Novel Twilight merupakan novel seri pertama dari novel karangan Stephenie Meyer. Stephen juga mengeluarkan seri lanjutan dari Novel Twilight ini yaitu seri Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn .

Dalam novel karya pertama dari Stephenie Meyer ini kalian akan menemukan adegan-adegan yang menguras emosi seperti adegan romantis, permusuhan, perang dan konspirasi. Ceritanya juga diangkat menjadi film layar lebar yang selalu ditunggu-tunggu setiap serinya oleh para penggemar.

Sekarang, kalian  membaca Novel Twilight Bab 100 ini secara gratis dalam website Great Novel. Semoga bisa memberi para pembaca sekalian hiburan 😊



Baca Selengkapnya Novel Twilight – Pandangan Pertama Bab 100

"Aku punya kunci," gumamku, memutar kenop pintu.

Ia berdiri terlalu dekat, satu tangannya terulur ke arahku, wajahnya syok. Aku tak bisa membuang waktu dan berdebat dengannya lagi. Aku harus membuatnya lebih sakit lagi.

"Biarkan aku pergi, Charlie." Aku mengulangi kata-kata terakhir ibuku ketika ia melewati pintu yang sama ini bertahun-tahun yang lalu.

Aku mengucapkannya semarah mungkin, lalu membuka pintu, dan mengempaskannya. "Semuanya kacau, oke? Aku sungguh, sungguh membenci

Forks!"

Ucapanku yang jahat berhasil—Charlie bergeming di ambang pintu, terpana, sementara aku berlari menembus malam. Aku amat sangat ketakutan berada di pekarangan yang kosong.

Aku berlari seperti kerasukan menuju trukku, membayangkan bayangan gelap di belakangku. Kulempar tasku ke jok dan menarik pintunya hingga terbuka.

Kuncinya sudah menggantung di lubang starter.

“Besok aku akan menelepon!" aku berteriak, berharap melebihi apa pun bahwa aku bisa menjelaskan semua ini padanya saat itu, namun sadar aku takkan pernah sanggup. Kunyalakan mesin truk dan melesat meninggalkan halaman rumah.


Edward meraih tanganku.

"Menepi," katanya begitu rumahku, dan Charlie, telah lenyap di belakang kami.

"Aku bisa mengemudi," kataku di balik air mata yang mengalir ke pipi.

Tahu-tahu tangannya yang panjang mencengkeram pinggangku, dan kakinya mendorong kakiku hingga lepas dari pedal gas. Ia menarikku ke pangkuannya, melepaskan tanganku dari kemudi, dan tiba-tiba saja ia sudah berpindah ke jok pengemudi. Trukku tidak oleng sedikit pun. "Kau takkan bisa menemukan rumahnya," ia menjelaskan.

Tiba-tiba lampu-lampu menyorot terang di belakang kami. Aku memandang lewat kaca belakang, mataku membelalak ketakutan.

"Itu cuma Alice," ia menenangkanku. Ia memegang tanganku lagi.

Benakku dipenuhi sosok Charlie yang berdiri di ambang pintu.

"Si pemburu?"

"Dia mendengar akhir sandiwaramu," kata Edward geram.

"Charlie?" tanyaku ngeri.

"Si pemburu mengikuti kita. Sekarang dia berlari di belakang kita."

Tubuhku langsung membeku. "Bisakah kita meninggalkannya?"

"Tidak." Tapi Edward mempercepat laju truk sambil berbicara.

Mesin truk menggeram. Rencanaku tiba-tiba tidak terasa brilian lagi. Aku menoleh ke belakang menatap lampu mobil Alice ketika truk bergetar dan bayangan gelap meluncur di luar jendela.

Darahku bergejolak sesaat sebelum Edward membekap mulutku. "Itu Emmett!

Ia melepaskan tangannya dari mulutku, dan memeluk pinggangku.

"Semuanya baik-baik saja, Bella," ia berjanji. "Kau akan aman.”

Kami melesat melewati kota yang sepi, menuju jalan tol utara.

"Aku tak tahu kau masih begitu bosan dengan kehidupan kota kecil," katanya berbasa-basi, dan aku tahu ia berusaha mengalihkan perhatianku.

"Sepertinya kau menyesuaikan diri dengan cukup baik—terutama akhir-akhir ini. Barangkali aku hanya menyanjung diriku sendiri karena telah membuat hidupmu jauh lebih menarik."

"Aku benar-benar bukan anak yang baik," aku mengaku, mengabaikan usahanya mengalihkan perhatianku, sambil menunduk memandangi lutut.

"Itu tadi hal yang sama yang diucapkan ibuku saat dia meninggalkan Dad. Bisa dibilang itu sangat kejam dan tidak adil."


"Jangan khawatir. Dia akan memaafkanmu." Ia tersenyum sedikit, meskipun matanya tidak. Aku menatapnya putus asa, dan ia melihat kepanikan di mataku.

“Bella, semuanya akan baik-baik saja." “Tapi tidak akan baik-baik saja saat aku tidak bersamamu," bisikku.

“Kita akan bersama-sama lagi dalam beberapa hari," kitanya seraya mempererat pelukannya. "Jangan lupa, ini idemu."

“Ini ide terbaik—tentu saja ini ideku."

Senyumnya pucat dan langsung lenyap.

"Kenapa ini terjadi?" tanyaku, suaraku melengking

“Kenapa aku?"

Ia menatap marah ke jalanan di depan kami. "Ini salahku aku bodoh sekali mengeksposmu seperti itu." Kemarahan dalam suaranya ditujukan pada dirinya sendiri.

"Bukan itu maksudku," aku berkeras.

"Aku ada di sana, memangnya kenapa? Kehadiranku tidak mengganggu dua yang lain. Kenapa si James ini memutuskan ingin membunuhku. Ada orang di mana-mana, kenapa aku?" Ia ragu-ragu, berpikir sebelum menjawab.

"Aku mendengarkan pikirannya malam ini," ia memulai dengan suara pelan.

"Aku tak yakin ada yang bisa kulakukan untuk menghindari ini, begitu dia melihatmu. Sebagian adalah salahmu." Suaranya masam.


"Seandainya aromamu tidak begitu menggiurkan, dia mungkin saja tidak terusik. Tapi ketika aku membelamu..., Well, itu membuat segalanya tambah parah. Dia tidak terbiasa dikecewakan, tak peduli betapa tidak pentingnya objek itu. Dia menganggap dirinya pemburu, bukan yang lain. Eksistensinya hanya melulu mengenai berburu, dan baginya tantangan adalah satu-satunya hal yang penting. Tiba-tiba kita mempersembahkan tantangan yang indah di hadapannya—satu klan besar yang terdiri atas pejuang tangguh semua bersatu melindungi satu elemen yang lemah. Kau takkan percaya betapa gembiranya dia sekarang. Ini permainan favoritnya, dan kita baru saja menjadikannya permainan paling menarik baginya." Suaranya penuh kejijikan. Ia berhenti sebentar.

"Tapi seandainya aku tidak membelamu, dia bisa saja membunuhmu saat itu juga," katanya sangat putus asa.

"Kupikir... aromaku tidak sama bagi yang lain... tidak seperti bagimu," kataku ragu-ragu.

“Memang tidak. Tapi bukan berarti kau bukan godaan bagi mereka. Seandainya kau telah menarik perhatian si pemburu – atau salah satu dari mereka – dengan cara yang sama seperti terhadapku, pertarungan akan terjadi saat itu juga.”

Aku bergidik ngeri.

“Kurasa aku tak punya pilihan lain kecuali membunuhnya sekarang," gumamnya. "Carlisle takkan menyukainya."

“Aku bisa mendengar suara ban melintasi jembatan, meskipun aku tak bisa melihat sungainya di kegelapan. Aku tahu kami semakin dekat. Aku harus bertanya sekarang.

"Bagaimana kau membunuh vampir?"

Ia melirikku dengan tatapan yang tak bisa kutebak dan suaranya mendadak parau. "Satu-satunya yang bisa memastikan kematiannya adalah dengan menghancurkannya berkeping-keping lalu membakarnya." "Dua vampir lainnya, apakah mereka akan ikut bertarung dengannya?"

Novel Twilight – Pandangan Pertama Bab 100 Telah Selesai

Bagaimana Novel Twilight - Pandangan Pertama Bab 100 nya? Seru bukan? Jangan lupa untuk membaca kelanjutan kisahnya di bab-bab selanjutnya ya Novel Lovers.

Silahkan klik navigasi Babnya di bawah ini untuk pindah ke Bab berikutnya.

Dapatkan update Novel Terbaru pilihan dari kita dan sudah aku susun daftar lengkap novelnya ya free buat kalian yang suka baca. Mari bergabung di Grup Telegram "Novel Update", caranya klik link https://t.me/novelkupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca Juga Novel Lainnya Dibawah yang Pastinya Seru Juga :

Bab Selanjutnya
Bab Sebelumnya

0 komentar: