Novel Twilight merupakan novel seri pertama dari novel karangan Stephenie Meyer. Stephen juga mengeluarkan seri lanjutan dari Novel Twilight ini yaitu seri Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn .
Dalam novel karya pertama dari Stephenie Meyer ini kalian akan menemukan adegan-adegan yang menguras emosi seperti adegan romantis, permusuhan, perang dan konspirasi. Ceritanya juga diangkat menjadi film layar lebar yang selalu ditunggu-tunggu setiap serinya oleh para penggemar.
Sekarang, kalian membaca Novel Twilight Bab 89 ini secara gratis dalam website Great Novel. Semoga bisa memberi para pembaca sekalian hiburan 😊
Baca Selengkapnya Novel Twilight – New Moon Bab 89
“Yeah. Semacam itulah." Aku mencoba membaca ekspresinya, menyapitkan mata melawan hujan yang menderas. Sorot matanya tegang oleh kecemasan atau kesedihan.
Kata-kata yang tadi tak bisa kucerna mendadak langsung kupahami.
"Kau tadi mengatakan... rumah sakit. Sebelum ini, pada Sam. Apakah ada yang terluka? Apakah dia melawan kalian?" Suaraku melompat satu oktaf, terdengar aneh karena parau.
"Tidak, tidak. Waktu kami kembali, Em sudah menunggu hendak menyampaikan kabar. Tentang Harry Clearwater. Tadi pagi Harry terkena serangan jantung."
"Harry?” Aku menggeleng, berusaha mencerna perkataannya.
"Oh, tidak! Charlie sudah tahu?"
"Yeah. Dia juga di sana, bersama ayahku."
"Apakah Harry akan bertahan?" Mata Jacob kembali mengejang.
"Sekarang ini kondisinya tidak begitu bagus."
Seketika itu juga aku merasa sangat bersalah— merasa benar-benar tidak enak telah dengan sembrono terjun dari tebing. Tak seharusnya semua orang mengkhawatirkanku sekarang. Sungguh waktu yang sangat tidak tepat untuk melakukan hal ceroboh.
"Apa yang bisa kulakukan?" tanyaku.
Saat itulah hujan berhenti. Aku tidak sadar kami sudah sampai di rumah Jacob sampai ia berjalan melewati pintu. Badai menghantam atap.
"Kau bisa menunggu di sini" jawab Jacob sambil menurunkanku ke sofa pendek.
"Aku bersungguhsungguh, Bella—tepat di sini. Akan kuambilkan pakaian kering."
Kubiarkan mataku menyesuaikan diri dengan ruangan yang gelap sementara Jacob sibuk mencari-cari di kamarnya. Ruang depan yang sempit terasa sangat kosong tanpa Billy, nyaris menyedihkan. Anehnya, suasana terasa mengerikan—mungkin itu hanya karena aku tahu ia sedang di mana.
Sebentar Jacob sudah kembali. Ia melemparkan setumpuk baju katun berwarna abu-abu. "Pasti kebesaran untukmu, tapi itu yang terbaik yang kupunya. Aku akan, eh, keluar sebentar supaya kau bisa berganti baju."
"Jangan ke mana-mana. Aku masih terlalu lelah untuk bergerak. Temani saja aku." Jacob duduk di lantai di sebelahku, punggungnya bersandar di sofa.
Aku penasaran kapan terakhir kali ia tidur. Ia tampak letih yang kurasakan.
Jacob membaringkan kepalanya di bantal di sebelahku dan menguap.
"Kurasa aku bisa istirahat sebentar..."
Matanya terpejam. Kubiarkan mataku terpejam juga.
Kasihan Harry. Kasihan Sue. Aku tahu Charlie pasti sangat kalut. Harry sahabatnya. Meskipun Jake tadi merasa sangsi, aku justru sangat berharap Harry bisa sembuh kembali. Demi Charlie. Demi Sue, Leah, dan Seth...
Sofa Billy letaknya persis di sebelah radiator, jadi aku merasa hangat sekarang, meskipun pakaianku basah kuyup. Paru-paruku yang sakit mendorongku ke keadaan tidak sadar, bukan malah membuatku terus terjaga. Samar-samar aku sempat berpikir apakah aku boleh tidur... atau aku mencampuradukkan tenggelam dengan gegar otak...? Jacob mulai mendengkur pelan, dan dengkurannya menenangkanku seperti ninabobo.
Dengan cepat aku tertidur.
Untuk pertama kali dalam kurun waktu sangat lama, mimpiku sama seperti mimpi-mimpi normal lainnya. Hanya berkeliaran dalam ingatan samar ke kenangan-kenangan lama— melihat matahari kota Phoenix yang teriknya membutakan, wajah ibuku, rumah pohon bobrok, selimut quilt kusam, dinding kaca, api di air yang gelap... aku langsung lupa pada gambaran yang satu begitu gambaran yang lain muncul.
Gambaran terakhir adalah satu-satunya yang bertahan dalam ingatanku. Tidak berarti apa-apa— hanya dekorasi di sebuah panggung. Sebuah balkon di waktu malam, dengan lukisan bulan purnama menggantung di langit. Kulihat seorang gadis bergaun tidur mencondongkan tubuh di birai balkon dan berbicara sendiri.
Tidak berarti apa-apa... tapi ketika lambat laun kesadaranku pulih, nama Juliet muncul dalam benakku.
Jacob masih tidur; ia merosot ke lantai, tarikan napasnya dalam dan teratur. Suasana rumah lebih gelap daripada sebelumnya, di luar jendela gelap gulita. Tubuhku kaku, tapi hangat dan hampir kering. Bagian dalam tenggorokanku bagai dibakar setiap kali aku menarik napas.
Aku harus bangkit—setidaknya untuk minum. Tapi tubuhku ingin terus berbaring di sini, tidak pernah bergerak lagi.
Alih-alih bergerak, aku malah memikirkan Juliet lagi.
Aku bertanya-tanya dalam hari, apa yang akan ia lakukan seandainya Romeo meninggalkannya, bukan karena dilarang menemuinya, tapi karena kehilangan minat? Bagaimana seandainya Rosalind memberinya kesempatan, dan Romeo berubah pikiran? Bagaimana seandainya, alih-alih menikahi Juliet, Romeo justru menghilang?
Kurasa aku tahu bagaimana perasaan Juliet. Juliet pasti takkan kembali ke kehidupan lamanya, tidak terlalu. Ia tidak mungkin melanjutkan hidup, aku yakin itu. Bahkan seandainya ia hidup sampai tua dan keriput, setiap kali memejamkan mata, wajah Romeo-lah yang akan selalu terbayang. Ia akan menerima kenyataan itu, pada akhirnya.
Aku bertanya-tanya apakah akhirnya Juliet akan menikah dengan Paris, hanya untuk membahagiakan orangtuanya, demi menjaga ketenangan. Tidak, mungkin tidak, aku memutuskan. Tapi kisah itu memang tak banyak bercerita tentang Paris. Ia hanya peran pembantu tempelan, ancaman, tenggat waktu untuk memaksa Juliet.
Bagaimana seandainya peran Paris lebih dari itu?
Bagaimana seandainya Paris teman Juliet? Sahabatnya? Bagaimana seandainya Paris satusatunya orang kepada siapa Juliet bisa mencurahkan keluh kesahnya tentang hubungan cintanya yang gagal dengan Romeo? Satu-satunya orang yang benar-benar memahami Juliet dan membuatnya merasa seperti manusia normal lagi? Bagaimana seandainya Paris itu sabar dan baik?
Menjaganya baik-baik? Bagaimana seandainya
Juliet tahu ia tak mungkin bisa bertahan tanpa Paris? Bagaimana kalau Paris benar-benar mencintai Juliet dan ingin agar ia bahagia? Dan... bagaimana bila Juliet mencintai Paris? Tidak sebesar cintanya pada Romeo. Sama sekali tidak seperti itu. tentu saja.
Tapi cukup sampai Juliet ingin agar Paris bahagia juga? Desah napas Jacob yang lambat dan dalam adalah satu-satunya suara di ruangan itu—seperti ninabobo yang digumamkan pada seorang anak, seperti desir suara kursi goyang, seperti detak jarum jam tua di saat kau tidak perlu pergi ke mana-mana... Pendek kata, suara yang membawa kedamaian.
Novel Twilight – New Moon Bab 89 Telah Selesai
Bagaimana Novel Twilight - New Moon Bab 89 nya? Seru bukan? Jangan lupa untuk membaca kelanjutan kisahnya di bab-bab selanjutnya ya Novel Lovers.
Silahkan klik navigasi Babnya di bawah ini untuk pindah ke Bab berikutnya.
Dapatkan update Novel Terbaru pilihan dari kita dan sudah aku susun daftar lengkap novelnya ya free buat kalian yang suka baca. Mari bergabung di Grup Telegram "Novel Update", caranya klik link https://t.me/novelkupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Baca Juga Novel Lainnya Dibawah yang Pastinya Seru Juga :
- Novel Lelaki Yang Tak Terlihat Kaya
- Novel Romantis Pengantin Pengganti
- Novel Elena : Si Gadis Tangguh
- Novel Charlie Wade Si Kharismatik
- Novel Romantis My Lovely Boss
- Novel Perintah Kaisar Naga
- Novel My Imperfect CEO
- NOVEL KISAH ISTRI BAYARAN
- Novel Perceraian Ke-99

0 komentar: